“Hari
ini aku melihatmu dibungkus jaket kelabu tebal. Mata diammu sekali lagi
menyarangkan liarnya padaku; ingin kubawa pulang saja.”
Ada konspirasi mematikan yang
terjadi di ruang kafe siang itu. Ketika selaksa rindu menimbuni aku yang duduk di
sana, hingga jadi sesak satu persatu. Kehabisan napas, lantaran bilik hati sudah
pengap oleh rindu yang tersengal. Letih kian merajuki rindu agar berhenti; tak
ada gunanya terus mencintai dengan rindu yang sudah tertatih-tatih.
Tapi aku di dalam kafe – yang entah
terjebak, atau sengaja membiarkan diriku sendiri ditelanjangi rindu – tetap duduk. Tak
ada aku yang mau beranjak, walau rindu diam-diam sudah menjelma jadi sungkawa
yang begitu maha. Imbasnya, aku dilumat habis rindu-rindu yang sudah nestapa. Aku
perlahan tak bergerak; mungkin sudah mati di dalam, akibat dibunuh oleh rasa
gelebah akan bayangmu yang sebatas angan penuh resah.
Serasa belum cukup, rindu sengaja
mengajakmu bekerja sama lebih larut. Kamu memalingkan wajah bisumu sejenak
setelah melempar kedua manik matamu padaku. Seakan bongkah rindu dalam secangkir kopi
manis di kafe itu, menyulap jadi sewajan lara dan gulana jadi satu. Dan, itu
begitu luka. Untai rindu yang tak pernah kau tahu, bukan hanya berhasil
mencekikku, tapi juga membawaku mengembara pada rajutan harapanku yang sudah
menelikung begitu jauh. Bahwa kamu memang tak tersentuh. Kamu yang utuh dengan
segala diam dan bisumu. Seharusnya melangkah cepat menjauhi rindu-rindu yang
berdarah dariku, di kafe siang itu. Kamu tak akan mau melihatku mati hanya
karena tatap matamu berhasil menancap di hati yang merindu. Kamu tak akan mau memandangku
mati hanya karena namamu berhasil memasungku di pertengahan malam penuh rindu.
Ini memang tentang rindu-rindu yang
tak pernah mau menuai jemu; terlebih jika itu mengenai kamu.
*teruntuk seseorang dalam 'Lelaki yang Dikurung Bisu'
0 Comments:
Post a Comment