Aku duduk di tepi sebuah gedung
bertingkat; dilumat habis ruang pikirku sendiri. Membenamkan diri dalam kedua
telapak tangan yang terbuka; sekepal malam da segenggam gulita. Remang lampu
kota (yang kerap kali mengingatkanku padamu) dan sorot cahaya bermotor seakan
menerkamku pada suatu potong peristiwa esok jauh hari; mungkin saja aku hanya
menjadi bagian dari anggur-anggur yang berserak di tepi jalan.
Dan, hening meringkusku dalam ruang
dingin paling maha. Bagaimana rasanya ketika kamu hanya berdua saja dengan
hening. Dan hening benar-benar membunuh dan menghabiskanmu? Tapi, aku
melihatmu. Lalu segala yang hening, menjelam jadi senyap yang penuh akan kenang
ranum dan angan yang mengkuntum; siap tumbuh.
Sekali lagi, aku menemukanmu dalam
jerat matamu yang bisu. Lagi-lagi kamu diterungku diam yang memborgol tubuhmu.
Tapi tahukah kamu, itulah satu-satunya cara yang tanpa kamu sadari, berhasil
memenjarakanku pada malam-malam penuh gelisah tentangmu. Kamu duduk di tepi
keramaian, melawan bising; kala itu kamu mengenakan kaus merah dengan jaket
kelabu. Saat itu kamu tengah melempari tiap ramai-ramai dengan diammu yang
berbicara bisu. Sedangkan aku sibuk menyembunyikan diri di antara kelebat
bayang orang-orang yang lewat, aku takut jikalau kamu menemukanku dan
mengunciku di dalam matamu; aku akan mati dengan dada yang menyesak.
Lalu, salah seorang kawanku memekik.
Kamu tak terlalu menarik, kecuali bisu-bisu yang menukik tiap leher keramaian
yang (memang) pantas dicekik. Lantas kawanku pun berlalu, aku mengikuti
langkahnya untuk segera meninggalkanku di belakang. Tapi kawanku tak pernah
tahu jika kedua mataku dan sepotong hatiku sudah tertinggal di kepalan
tanganmu. Aku tak lagi pernah memiliki hati yang utuh atau mata yang kukuh, sejak
menemukanmu bulan lalu pada akhir subuh. Karena padamu, aku telah jatuh.
0 Comments:
Post a Comment