Saturday, 13 September 2014

Lelaki yang Dikurung Bisu (2)


Aku duduk di tepi sebuah gedung bertingkat; dilumat habis ruang pikirku sendiri. Membenamkan diri dalam kedua telapak tangan yang terbuka; sekepal malam da segenggam gulita. Remang lampu kota (yang kerap kali mengingatkanku padamu) dan sorot cahaya bermotor seakan menerkamku pada suatu potong peristiwa esok jauh hari; mungkin saja aku hanya menjadi bagian dari anggur-anggur yang berserak di tepi jalan.
Dan, hening meringkusku dalam ruang dingin paling maha. Bagaimana rasanya ketika kamu hanya berdua saja dengan hening. Dan hening benar-benar membunuh dan menghabiskanmu? Tapi, aku melihatmu. Lalu segala yang hening, menjelam jadi senyap yang penuh akan kenang ranum dan angan yang mengkuntum; siap tumbuh.
Sekali lagi, aku menemukanmu dalam jerat matamu yang bisu. Lagi-lagi kamu diterungku diam yang memborgol tubuhmu. Tapi tahukah kamu, itulah satu-satunya cara yang tanpa kamu sadari, berhasil memenjarakanku pada malam-malam penuh gelisah tentangmu. Kamu duduk di tepi keramaian, melawan bising; kala itu kamu mengenakan kaus merah dengan jaket kelabu. Saat itu kamu tengah melempari tiap ramai-ramai dengan diammu yang berbicara bisu. Sedangkan aku sibuk menyembunyikan diri di antara kelebat bayang orang-orang yang lewat, aku takut jikalau kamu menemukanku dan mengunciku di dalam matamu; aku akan mati dengan dada yang menyesak.
Lalu, salah seorang kawanku memekik. Kamu tak terlalu menarik, kecuali bisu-bisu yang menukik tiap leher keramaian yang (memang) pantas dicekik. Lantas kawanku pun berlalu, aku mengikuti langkahnya untuk segera meninggalkanku di belakang. Tapi kawanku tak pernah tahu jika kedua mataku dan sepotong hatiku sudah tertinggal di kepalan tanganmu. Aku tak lagi pernah memiliki hati yang utuh atau mata yang kukuh, sejak menemukanmu bulan lalu pada akhir subuh. Karena padamu, aku telah jatuh.

0 Comments:

Post a Comment