Itu pagi yang sulit untuknya. Aku
mengetahuinya ketika dia membanting tas punggung kelabu ungunya di hadapanku. Kerutan
di kening kepalanya diikuti mata bengkak yang memerah, menjadi kombinasi yang
sudah menjelaskan seluruhnya, tapi dia tetap mau bercerita. Maka, aku di sini,
menyeduhkan teh aroma jeruk garmot favoritnya sembari mendengarnya.
Dia bilang, pagi tadi mengendarai
kendaraan bermotor dan melihat seorang bapak tua duduk di antara tumpukkan
sampah yang menggunung; sebuah tempat pembuangan akhir.
“Itu gunungan sampah yang sebentar
lagi hendak diangkut pergi. Tapi bapak itu masih di sana, beliau duduk dan mengais
sampah plastik. Seakan ada lembar dollar dan bubuk emas yang berjatuhan di sana
dan harus ditemukan.”
Dia bilang, siang tadi ketika
diantar seseorang, dari balik kaca mobilnya, dia melihat seorang ibu paruh
baya. Rasanya dia pernah melihat ibu itu sebelumnya – perempuan paruh baya
tanpa alas kaki yang berjalan di antara aspal yang membakar kulit. Siang itu,
dia melihatnya lagi dengan dua lembar rupiah nominal ribuan.
“Dia berjalan seperti biasa, tanpa
alas kaki. Keriputnya masih sama; di sudut bibir dan matanya. Mata sayu itu.
Lalu, yang membuatnya berbeda adalah dia memegangi dua lembar uang ribuan dan
membelikannya gorengan di pinggir jalan.”
Dia bilang, ada tukang loak yang
datang ke rumahnya tadi sore. Dia hendak menjual barang-barang bekas dari gudang
penyimpanannya yang mulai berbau apak. Ketika dia menceritakan kisah ini, dia
terlihat frutrasi. Menurutnya, tak seharusnya dia menjualnya. Dia seharusnya
memberinya saja secara gratis pada si tukang loak.
“Tak kamu lihat wajah si tukang loak
ketika kubilang itu semua harus dibayar. Dia mengecek lembaran uang di
dompetnya yang lusuh. Aku terkoyak, bagai tengkulak angkuh yang tengah memeras
petani miskin nan sederhana. Kemana nuraniku?”
Dia bilang, dia berhenti di sebuah
lampu merah malam itu. Berhenti yang cukup lama sampai seorang lelaki tua
merangkak dari bahu jalan ke arahnya. Lelaki yang cacat, matanya berbinar penuh
harap untuk receh-receh yang mungkin terulur. Gelap malam seakan menelan lelaki
tua itu.
“Sandal yang sudah rusak dipakainya
sebagai alas tangan. Dia berjalan dengan tangan. Aku tak tahu harus melukisnya
seperti apa. Malam itu geap, dan lelaki itu seakan tercekik oleh perut yang
berbunyi di tubuh malam yang kejam.”
Dia menangis. Wajahnya dibenamkan
pada kedua telapak tangannya yang terbuka. Bahunya berguncang hebat. Aku
membisu, kujejalkan earphone dengan lagu-lagu sendu yang masih menyala pada dua
telingaku. Kisah yang ingin dia ceritakan sudah usai. Lamat-lamat, bayangan dia
mulai menghilang dari hadapanku, isak tangisnya menyatu ke dalam ruang hatiku.
Aku bilang; “kan kubuatkan puisi yang membalikkan kata dia menjadi aku. Dan aku
menjadi dia.”
Lantas, penggal cerita tadi milik
siapa? Aku atau dia?
Aku menangis.
0 Comments:
Post a Comment