Sunyi
menimbun ruang ini berlapis-lapis
Ada
kalbu yang tak tahu bagaimana menepis
Sukma
menangis sedari tadi mengais-ngais
Kemarin,
sepenggal malam mengajakku menelusuri sebuah jalan raya yang memanjang dan
berkelok-kelok hingga ke rumahmu. Suara kendaraan yang melaju cepat nan lesat,
menembus sunyi yang mulai menyetubuhi jalan beraspal. Mereka; menjadikan jalan
raya tempat kita berdua menyimpan cerita di tubuh hari-hari sebagai ajang balap
– membalap. Tak tahu jua kita, jikalau kita pun saling menderukan mesin dan
berlomba; layaknya kontes, siapakah paling cepat yang mampu membunuh rasa.
Aku
membelah jalanan yang mulai lenggang dengan perlahan. Mataku sampai pada tepian
jalan, dekat arus kali besar yang sempat kita lewati berdua di kala hujan
mengguyur kota. Kamu tertawa karena aku terus mengomel ketika air kali itu
meluap dan memandikan kaki-kakiku. Lantas, kita mencari bahu jalan yang lebih
tinggi, dekat dengan lampu merah yang menyala nyalang, berdiri di sana dan
mencumbui bisu kita berdua. Menekan rasa yang mungkin saja bergejolak hingga
kita bertindak bodoh. Maka kita memilih diam, menyekat kata dari pita suara
sampai bungkam. Tapi aku tahu, lewat mata jenakamu yang terlempar ke sana- ke
mari, kita berbicara lebih banyak dibanding kalimat-kalimat yang bisa diuntai
kata.
Bayangku
pernah di sana. Dan aku tahu, biarpun debu dan asap memeluk tubuhku dan
memain-mainkan anak rambutku, setidaknya pernah ada kamu di sampingku; yang
sempat mengubah lalu lalang kendaraan bersuara bising menganggu, menjadi tempat
menaruh bisik-bisik harapan rasa yang tak kita sentuh.
Belokkan
pertama menjadi pilihanku. Rasanya seperti pertanda jika akan ada pusaran besar
yang menarik kita berdua masuk. Tapi kamu punya lebih banyak pilihan
dibandingku; tetap tinggal dan terbunuh bersamaku, ataukah kembali pada
perempuan bermafela salju dengan dress merah jambu berpolkadot. Alih-alih
memilih keduanya – kamu justru memilih persimpangan lain, berupa rumah masa
lalumu. Aku berteriak memanggilmu di pusaran gelap, bermegap-megap, sesak dan
setengah merangkak; “terlalu dungu untuk kembali pada luka-luka lampau yang
hanya mampu membelenggumu dalam harapan semu. Angan dan lalu tak akan bersatu”.
Pernahkah
kubilang padamu? Jalan dari tempat kita menimba canda tawa dan mendulang air
mata hingga ke rumah persinggahanmu selama tahunan ini, adalah jalan yang
dilumuri kenangan. Hinga berhasil membuatku terseok-seok setiap kali
melewatinya. Belum lagi, malam-malam yang sendiri nan sulit harus kulalui
dengan mimpi-mimpi hening akanmu.
Nyatanya,
hanya aku yang berusaha mengetuk-ngetuk labirin hati yang sudah membeku.
0 Comments:
Post a Comment