Wednesday, 13 August 2014

Tentang Perempuan yang Menangis di Penghujung Malam

Aku pernah menulisi perempuan ini sebelumnya. Kala itu, aku ceritakan dia lewat pasang-pasang mata yang mengekori langkahnya setiap hari. Kata pasang-pasang mata yang mendelik dan menyimpan belati itu, perempuan ini tidak menarik. Alih-alih cantik dan unik, dia justru tipe perempuan yang bisa dihujat dengan pelik. Kulit hitam, hidung besar, wajah berjerawat, tubuh gendut dan tinggi – katakanlah; monster. Lalu, suatu waktu, seorang model menyalahinya – mengolok-oloknya di sosial media. Saat itulah, ada kecambuk yang berkecambah menjadi besar di dadaku; aku menemui perempuan ini – tengah mengekor pada seorang kakak perempuan. Dari matanya, aku tahu, kakak itulah yang menjadi satu-satunya teman yang dia punyai. Aku memutuskan untuk mengerti dia, membacanya dan menjadi temannya. Akhirnya, aku tahu apa yang membuatnya mengesalkan dan dijauhi. Tapi itu bukan alasan. Kelebihannya yang sering bercerita tentang lelaki-lelaki yang dikagumi bukan untuk dibungkam, disalahi dan diejeki. Dia perlu untuk didengar. Lalu, sepanjang siang, sepulang beraktivitas, dia menemuiku untuk berkisah. Lanjut pada pesan-pesan singkat yang berakhir pada malam yang pucat. Aku lelah; dia terus-menerus bercerita tentang lelaki yang disukainya menolaknya, memarahinya dan mendiamkannya. Sampai sebuah pesan panjang menyinggahi layar ponselku, semenjak itu aku tahu, menjadi teman pendengarnya adalah tak pernah salah.
“Kamu adalah satu-satunya kakak yang mau mendengarku. Dulu, bahkan kawan sebayaku pun tak mengindahkanku, apalagi seorang kakak. Orang-orang meninggalkanku satu persatu karena hal-hal kecil. Terima kasih karena mau menjadi teman baik untukku sampai detik ini.”
Lalu, dia pindah sekolah. Aku tak tahu apakah di sekolah barunya, dia akan berteman dengan tatap-tatap belati dan kalimat-kalimat silet itu lagi. Aku tak menjamin apakah di lingkungan barunya, dia akan bersahabat dengan ruangan gelap nan sunyi hingga tak tahu kemana tempat yang baik untuk mengadu cerita-ceritanya kembali.
“Tidak ada alasan untuk menjauhimu. Kita sudah menjadi teman baik sejak awal berkenalan, sekarang ini, seterusnya dan selamanya.”
Malam itu, sehabis dia menangis karena lelaki-lelaki yang diceritakannya, dia terlelap di atas tubuh malam yang tinggal setengah. Aku terlelap setelah menukar senyum dan salam selamat malam dengannya. Lantas, kami kembali bertemu di labirin mimpi, menyapa hello dan saling berbisik; teman baikku, jangan menangis.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment