Aku
pernah menulisi perempuan ini sebelumnya. Kala itu, aku ceritakan dia lewat
pasang-pasang mata yang mengekori langkahnya setiap hari. Kata pasang-pasang
mata yang mendelik dan menyimpan belati itu, perempuan ini tidak menarik.
Alih-alih cantik dan unik, dia justru tipe perempuan yang bisa dihujat dengan
pelik. Kulit hitam, hidung besar, wajah berjerawat, tubuh gendut dan tinggi –
katakanlah; monster. Lalu, suatu waktu, seorang model menyalahinya –
mengolok-oloknya di sosial media. Saat itulah, ada kecambuk yang berkecambah
menjadi besar di dadaku; aku menemui perempuan ini – tengah mengekor pada
seorang kakak perempuan. Dari matanya, aku tahu, kakak itulah yang menjadi
satu-satunya teman yang dia punyai. Aku memutuskan untuk mengerti dia,
membacanya dan menjadi temannya. Akhirnya, aku tahu apa yang membuatnya
mengesalkan dan dijauhi. Tapi itu bukan alasan. Kelebihannya yang sering
bercerita tentang lelaki-lelaki yang dikagumi bukan untuk dibungkam, disalahi
dan diejeki. Dia perlu untuk didengar. Lalu, sepanjang siang, sepulang
beraktivitas, dia menemuiku untuk berkisah. Lanjut pada pesan-pesan singkat
yang berakhir pada malam yang pucat. Aku lelah; dia terus-menerus bercerita tentang
lelaki yang disukainya menolaknya, memarahinya dan mendiamkannya. Sampai sebuah
pesan panjang menyinggahi layar ponselku, semenjak itu aku tahu, menjadi teman
pendengarnya adalah tak pernah salah.
“Kamu adalah satu-satunya kakak
yang mau mendengarku. Dulu, bahkan kawan sebayaku pun tak mengindahkanku,
apalagi seorang kakak. Orang-orang meninggalkanku satu persatu karena hal-hal
kecil. Terima kasih karena mau menjadi teman baik untukku sampai detik ini.”
Lalu,
dia pindah sekolah. Aku tak tahu apakah di sekolah barunya, dia akan berteman
dengan tatap-tatap belati dan kalimat-kalimat silet itu lagi. Aku tak menjamin
apakah di lingkungan barunya, dia akan bersahabat dengan ruangan gelap nan
sunyi hingga tak tahu kemana tempat yang baik untuk mengadu cerita-ceritanya
kembali.
“Tidak ada alasan untuk menjauhimu.
Kita sudah menjadi teman baik sejak awal berkenalan, sekarang ini, seterusnya
dan selamanya.”
Malam
itu, sehabis dia menangis karena lelaki-lelaki yang diceritakannya, dia
terlelap di atas tubuh malam yang tinggal setengah. Aku terlelap setelah
menukar senyum dan salam selamat malam dengannya. Lantas, kami kembali bertemu
di labirin mimpi, menyapa hello dan saling berbisik; teman baikku, jangan menangis.
0 Comments:
Post a Comment