"…dan, aku melangkah keluar dari
sebuah aula besar yang disergap keramaian. Aku bertemu dengan matamu yang
menatap bisu. Rasanya aku ingin mengambarkannya seperti ini; seluruh udara di
ruang luas itu berputar menghilang ke dalam matamu, semuanya sesak, dan aku
jatuh sekali lagi pada diamnya matamu.” – tentang temu kedua kita di tepi
dinding bisu yang gemerlap.
Malam lalu, aku berjalan-jalan di
bahu jalan raya. Aku berhenti di antara debu-debu kendaraan yang menari di
sekelilingku. Sekali lagi aku mendongak untuk memotret remang-remang lampu kota
ke dalam mataku; dan melempar pandang ke sekitaran tengah jalan yang lenggang.
Bait-bait puisi yang hana segera berdengung di benakku; menyairkan sajak-sajak
akan anganku untuk bersamamu di sini – dimana aku membayangkan kita berdiri di
tengah jalan ini, dipayungi remang lampu kota. Sesekali duduk di bahu jalan,
dan melagukan kesunyian. Aku tersenyum dalam sendiri.
Aku tahu; kita berdua tahu. Jikalau
tak ada untai kenang dan derai tawa yang pernah kita rangkai sebelumnya. Tak pernah
jua kita menikmati konstelasi bintang di bawah langit malam bersama; bahkan
untuk menyapa singkat saja, aku hanya menunduk saking sesaknya dan kamu tetap
mengurung diri dengan bisumu. Maka yang dihasilkan dari temu-temu penuh batas
waktu dan jarak kita hanyalah; sejenak tatap mata. Harusnya tak ada cercah rasa
yang terbit, kita tidak pernah bertukar senyum dan sapa. Terlebih nama.
Tapi, pagi itu. Ketika kamu duduk
diam di koridor kampus. Di sudut dinding yang gelap, tepat di sebelah sebuah
tanaman setinggi bahuku. Kamu mengurung diri dalam bisu; matamu memendarkan
diam yang begitu hening. Kamu berhasil dalam banyak hal; membuat langkahku
berhenti, memutar balik tubuhku dan menanyakan namamu. Kamu menatapku bingung;
masih dengan bisu dan diam yang seakan jumpalitan menerkamku. Dan inilah
keberhasilan terbesarmu untuk menjeratku dalam sekali tatap bisu dan kedip
diammu; kamu berhasil membuatku jatuh sekali lagi.
Lagi-lagi ini rasa yang sulit untuk
kamu sentuh. Namun, di sini aku kerap bertanya pada setubuh bisu dan diammu
kala itu. Mampukah kita menjelmakan temu pertama kita dengan rindu-rindu?
0 Comments:
Post a Comment