"Hey, aku merindukanmu malam ini.”
“Apa kamu ingat, kita pernah berada di ruang kelas yang ramai. Aku sering kali mengerjaimu, mengata-ngataimu dan menindasmu. Kamu hanya pasrah dan menuruti begitu saja apa mauku.”
“Apa kamu ingat, kita pernah berada di ruang kelas yang ramai. Aku sering kali mengerjaimu, mengata-ngataimu dan menindasmu. Kamu hanya pasrah dan menuruti begitu saja apa mauku.”
“Sudah, lupakan.”
“Dengar aku, sahabatku. Kenangan;
salah satu penggal memori yang tak pernah mampu kamu sangkal.”
Aku
melewati malam-malam yang sulit. Kubiarkan diriku tenggelam dalam sibuk, seolah
tak ada waktu lagi bagiku untuk menepi sejenak akan hitung-hitung waktu yang
sudah tertinggal di belakangku. Lalu, aku menemukan malam ini; aku yang
terseok-seok oleh rona masa lalu. Tentang kita yang menjanjikan kebersamaan
selamanya, sampai akhir – tapi kini berusaha kita lupakan. Karena, aku sudah
lebam olehnya.
Aku
melalui malam-malam yang pucat. Ketika jarum jam dinding menyentuh tubuh malam
yang dingin, aku mendengar suara tawamu, jumpalitan bayangmu ketika kita
bertukar canda bersama, merasakanmu di sini. Lantas sekali lagi, aku tersenyum,
tertawa hingga terpingkal. Nyatanya, aku hanya tengah mengenang kita dalam
ruang paling hening, sampai ruang hati pun terlalu takut menjejakinya. Sebab
kita tak akan pernah pulang sekali lagi.
Aku
menapaki malam-malam yang dingin. Sebenarnya, aku lelah menyampaikan bait-bait
rindu di atas tubuh kenang yang kita rajut tiga tahun ini. Tapi, aku hanya
ingin kamu tahu; rindu yang menerbitkan kenang paling purba. Menumbuhkan akar
masa lampau paling haru untuk disimpan. Dan, aku tak pernah menyalahinya. Lewat
rindulah, aku tahu, aku pernah mencintaimu – sebagai sahabatku yang paling
jenaka.
Aku
melintasi malam-malam yang sendiri. Pernah sekali aku berharap pertemuan kita
selama ini hanyalah delusi belaka, ilusi yang dicipta waktu, ataukah
halusinasi hati. Tapi temu kita bukan apapun itu yang kuanggap tidak nyata –
kamu pernah ada, sekarang masih ada, dan selamanya akan ada. Kita ada. Bukankah
ada janji tak kasat mata yang kita semat ditiap ucapan selamat tinggal? Untuk
selalu kembali.
Teruntuk
Richky Deskiawan, terima kasih untuk kenangan yang menjadikan air mata sebagai
tawa di kemudian hari. Memilikimu sebagai sahabat adalah setubuh kenang dan angan-angan yang akhirnya menjelma jadi masa kini yang paling berharga.
0 Comments:
Post a Comment