Biarkan aku bercerita tentangmu
sekali lagi. Sedikit saja; mengenai aku yang diam-diam ingin selalu (bisa)
pulang bersamamu.
Kamu
tak pernah mengantarku hingga tepat di kompleks perumahanku, kamu selalu
berhenti di persimpangan empat jalur. Kadang kala, kamu berhenti di tepi jalan
untuk membeli beberapa bungkus makan siang – yang kerap kali kurengekkan
padamu, kamu harus membeli beberapa camilan siang untuk menemanimu di rumah. Aku
tahu tanpa kamu harus menjelaskan – aku bukan kekasihmu, atau perempuan yang
hadir dalam angan-angan masa depan dan mimpi-mimpi manismu hingga kamu harus
gelisah akan keadaanku. Tapi malam itu, ketika kurasa kita hanya sepasang kawan
yang tak pernah akan menyentuh bongkah hati – kamu mengirimiku pesan sunyi di
tengah malam; maaf karena tak pernah sekalipun kamu melihatku langsung masuk ke
beranda rumah dan mengunci gembok pagar. Sejak itu, kata ‘pulang’ dan ‘bersama’
menjelma menjadi gurau hati yang menggelitik sekaligus menyiksa.
Biarkan aku bercerita tentangmu
sekali lagi. Sedikit saja; mengenai aku yang diam-diam ingin selalu (dapat)
pulang bersamamu.
Kamu
menyuruhku menunggu, ada hal lain yang ingin kamu urus – yang membuatmu harus
berjalan beberapa meter jauhnya, menerobos terik siang yang memanggang, melawan
debu dan asap yang membakar. Kubilang, aku bisa ikut jika kamu mau. Kamu
tertawa, mata jenakamu yang selalu kusukai – sebab kamu suka memainkannya
dengan konyol, melemparnya ke atas langit, memutarnya layaknya kompas yang
kehilangan arah atau kamu gunakan untuk menjeratku. Matamu melihat beberapa kawan
kita yang berjalan kearahku, kamu menghentikan mereka, memintanya untuk
menemaniku barang beberapa menit. Dan, kamu tinggalkan tas punggung hitamku
padaku sebagai janji kamu akan kembali, dan kita akan kembali pulang bersama.
Saat itu, tanpa kamu tahu, aku selalu menunggumu – tanpa harus kamu minta,
tanpa harus kamu janjikan kata pulang dan kembali.
Biarkan aku bercerita tentangmu
sekali lagi. Sedikit saja; mengenai aku yang diam-diam ingin selalu (selamanya)
pulang bersamamu.
Lalu,
suatu waktu. Pulang bersamamu menjadi hal yang sulit. Kamu kerap sibuk dengan
kelompoknya – yang sering kali mengajakmu menjelajahi berbagai tempat dan
menikung-nikung jalan. Atau kadang pula, kamu memang tengah menunggu kesempatan
untuk pulang bersama seseorang, seorang gadis yang mengurungmu dalam penantian
dua tahun lebih dan tempatmu jadikan peraduan. Atau – sebuah kemungkinan yang
lebih masuk akal dibanding dua opsi lainnya, kita adalah sepasang kawan, yang
tak harusnya terlalu dekat, yang tak harusnya terlalu jauh.
Biarkan aku bercerita tentang kita
sekali lagi. Sedikit saja; mengenai kita yang diam-diam ingin selalu pulang
bersama. Tentang kita yang mengadu pada cerita, dan kita ditamparnya dengan buah
kalimat yang merajam; kita tidak terlalu dekat hingga disebut kekasih, kita
tidak juga terlalu jauh hingga tidak bisa disebut sahabat. Ini belenggu. Lantas, mari pulang
bersama (lagi).
0 Comments:
Post a Comment