Aku
bangun ketika fajar mengetuk kaca jendelaku. Sejenak, aku bergeliat di atas
kasur sebelum menyapa halimun pagi. Ketika aku hendak beranjak, lenganku
mengenai sebuah boneka mungil yang membawa kado di punggungnya. Aku tertawa
dengan suara serak, menghentikan rencanaku untuk menyibak gorden jendela dan
membiarkan fajar masuk ke ruang kamarku. Kupangku boneka mungil itu, berkas
memori tiba-tiba berkelebat satu persatu dengan malu-malu di labirin kalbuku.
Ini boneka yang pernah kudadani dengan pita, yang pernah kupotret dan selalu
kubagikan padamu. Hari ini, hatiku memaksaku untuk kembali membagi kelucuan
yang kubuat dengan boneka ini padamu, tapi tanganku terlalu beku untuk
bergerak. Aku mematung, aku mengecek kalender, hari ini Senin.
Sejak kapan kira-kira kita bagai
dua kawan jauh yang begitu kaku? Tak ada lagi sapa hangat sekedar untuk saling
berdebat kecil yang berujung salam manis? Tak ada lagi kita yang berlomba
membunuh purnama malam? Tak ada lagi kita yang saling melempar tanya dengan
panggilan serius hanya untuk menanyakan hal sederhana? Kemana kita yang
kekanak-kankkan dan begitu lemah terhadap kenangan? Kemana kita yang berbagi
apa saja – termasuk pil-pil pahit di masa lampau dan angan-angan masa depan?
Hey, sekali lagi, kamu yang aku rindukan bersama seluruh rasa yang berjejalan
di dada yang sesak, kemana kita yang diam-diam saling mencintai?
Ini
hari Senin, orang bilang, inilah waktunya memulai hari – mencuri start dan
tenggelam dalam kubang sibuk yang tak bisa diganggu. Kulempar ponselku,
tanya-tanya tadi yang meraung di benakku mengatakan satu hal padaku; kamu sudah
menghilang jauh-jauh hari. Pesan terakhir yang kita tukar adalah lusa malam
lalu, waktu yang begitu kutunggu – berusaha kulawan kantuk hingga pukul satu
pagi, tapi yang kamu lakukan adalah membiarkanku teronggok di sudut kamar
memandangi layar ponsel yang sepi. Sekali kamu mengedipkannya, kamu membahas
tentang seseorang. Aku mengangkat tubuhku menyapa pagi yang mulai terik, kamu
pernah bilang; sudah biarkanku pergi.
Fajar
sudah usai. Seharusnya aku tahu, kita bukan fajar yang tiap kali usai masih
bisa memulai. Kita hanya mengenal kata usai.
0 Comments:
Post a Comment