" … aku membayangkan kamu, beberapa
tahun dari sekarang, menandatangi bukumu sendiri di sebuah acara premiere film
yang diangkat dari kisah di novelmu. Dan aku berdiri di antara sesak kerumunan
orang itu.” – ujarnya tadi malam.
Aku
menderai tawa, tawa itu lama-lama memudar, menjelma menjadi setangkup rindu
yang menyengat di labirin hati. Ponselku bergetar sekali lagi; kawan jauhku
sekaligus teman seperjuanganku itu kembali mengabarkan kenangan. Aku memejamkan
mata, ketika kubuka, ia sudah mementaskan kelebat bayang lampau tiga tahun
lalu. Pementasan yang mengecamukkan kalbu, meremuk redam hati agar mendiamkan
rindu, sebab ini pementasan kenangan yang paling sunyi – ia bersetubuh langsung
dengan angan-angan untuk meloloskan temu.
“…kau
bisa bermain piano?” tanyanya sembari melirik sepotong daging ayamku yang hanya
tersentuh seperempat, belum pernah kukatakan padanya jika aku vegan, mencoba
memakan daging sama saja menantang tubuh untuk menyicipi racun. Mataku beralih
pada seonggok piano hitam yang bermukim di sudut resto ayam, lantas tersenyum
dan menggeleng pelan. Ia belum menyerah untuk mengobrol denganku di tengah
riuhnya resto, mataku juga masuh memaku pada manik hitam matanya yang dibingkai
kaca mata kotak. Kami terlibat obrol ringan yang panjang tentang dunia teater
dan drama – jelas sekali ia menguasai bidangnya, itu bisa ditebak dari suaranya
yang khas. Aku mengira obrol yang memerangkapkan tawa, senyum dan kehangatan
dalam satu ruang di hati itu tak akan berlanjut. Namun, aku tak pernah tahu
bagaimana waktu menulis skenarionya – mungkin di sebuah kamar sepi terkunci dan
hanya hening yang mampu membaca dan mengetahuinya. Kami kembali dijerat temu,
kali ini ia membahas hal-hal yang kerap kali konyol. Mengomentari wajah smiley
yang entah bagaimana, bisa tergambar di kardus latopku, dan ia mengajakku untuk
bergelayut dalam misteri kecil itu. Menerka-nerka siapa penggambarnya, menduga –
mungkin saja dua lelaki yang menjadi guide
kami berdua itu, yang iseng mencoretnya. Aku larut dalam canda, aku tenggelam
dalam dunianya yang ringan dan penuh tawa di tiap untai detiknya. Kamu mungkin
tidak mengerti apa yang tengah ingin kusampaikan dan kukisahkan padamu
tentangnya, tapi, ini memang sebongkah persahabatan yang tidak harus
dimengerti. Ini persahabatan dimana kamu hanya perlu menjalaninya, merasakannya
dan memeluknya.
Dan,
ia adalah kawan jauhku, yang ingin sekali lagi membingkai kebersamaan dengannya
dalam potret foto. Kawanku dengan kerudung putih khasnya, dengan kaca mata
kotaknya, dengan kulit cokelat gelapnya, telah berhasil menjadi bagian dari
kenangan pelangi di salah satu ruang hatiku.
“..kutitip rindu,”
“..kuselip cinta,”
“yang sudah kutawarkan pada waktu
untuk ditulisnya dalam skenario temu kita.”
Kami
mengangguk. Ini penggal tulisan rinduku padamu, Nurjihan Fahira.
Makasih veroooo, aku terharuuu :""") Ini secuil komen rinduku padamu, Veronica Gabriella
ReplyDelete