Aku
duduk dipayungi denyar lampu kota dengan melihat tikus-tikus bermobil yang baru
saja melewatiku. Monyet-monyet berjam tangan dengan tas-tas belanjaannya
berlalu-lalang melewatiku. Tak seorang pun menyinggahi sepasang matanya padaku.
Memang dasar monyet-monyet dan tikus-tikus itu! Mereka kira aku bukan bagian
dari mereka; pipiku yang bertompel hitam besar dan lidahku yang meninggi itu,
membuatku menjadi berbeda.
Si
tikus-tikus berkendaraan motor berpura-pura tidak tahu jika aku tengah duduk di
tepian jalan, menyetubuhi debu dan asap kendaraan milik mereka tiap harinya. Mereka
terlalu sibuk mengeruk keju-keju di tempat-tempat gelap yang tak terpikirkan
monyet-monyet. Sedangkan si monyet-monyet, yang juga tahu aku yang tidur
beralaskan bumi, berlangitkan cakrawala dan berlampukan bulan, tetap jalan
begitu saja seolah aku tak ada. Mereka terlalu sibuk menggelar kompetisi dengan
waktu dan menjilati tikus-tikus. Sebab, mereka kira aku bukan bagian dari
mereka; tompelku hitam berambut dan lidahku yang memanjang serta tinggi itu,
membuatku menjadi berbeda.
Ada
yang sepertiku, tapi sudah lama diringkus oleh tikus-tikus itu. Sebelum
diberangus tikus-tikus itu, yang sepertiku membisik padaku; “Kita akan
disinggahi dan dirawat oleh tikus-tikus serta monyet-monyet itu jikalau sudah memasuki
bulan keenam.”
“Bulan
keenam?”
“Ya,
mereka akan menjelma menjadi seperti kita, bertompel dan bermalampati.”
“Aku
tidak mengerti.”
“Ah,
kau nantinya akan mengerti. Mereka melempari kita pisang dan keju, tapi
sesungguhnya yang kita makan hanya kulitnya.”
Kali
ini aku tahu. Ini bulan Agustus, yang kudapat hanya seonggok kulit pisang yang
sudah membusuk. Aku masih ingat tadi; kecamuk amarahku pada si tikus-tikus dan
monyet-monyet itu yang hanya melewatiku begitu saja karena aku berbeda, tapi
detik ini, kecamuk itu lesap. Aku memang berbeda; sebab aku bukan monyet dan
tikus.
Tikus
bermobil dan monyet berpakaian mewah itu kembali lewat didepanku. Tak mereka
singgahi pandang matanya padaku. Aku tak mengapa; kurasa yang ‘bertompel’ dan
‘bermalampati’ itu adalah mereka. Tikus-tikus yang terlalu sering mengambil
keju-keju di tempat persmebunyian monyet, kali ini bisa kulihat tompel besar di
telapak tangan mereka – akan kusarankan pada mereka untuk sering cuci tangan.
Lalu, monyet-monyet yang kerap kali menjilat-jilat punggung si tikus, kali ini
bisa kulihat lidah malampati mereka – akan kusarankan pada mereka untuk sering
memerhatikan diri ketika menelan ludah; agar mereka tahu apa artinya.
Aku
memang berbeda; karena aku manusia – dan mereka, binatang-binatang yang hijrah
dari hutan dan melabeli diri mereka sebagai manusia. Mereka memang berbeda.
Terakhir, kulihat tubuh mereka tenggelam oleh denyar yang keluar dari jepret
kamera di depan televisi.
*sebuah kisah singkat yang ditulis dalam waktu dua puluh menit dalam ketegangan saat workshop bersama Agus Noor, menggunakan teknik tiga kata, yang kala itu, aku mendapat kata; malampati, tompel dan denyar-denyar.
keren :D
ReplyDelete