Friday, 27 June 2014

Tentang Monyet dan Tikus yang Lewat Depanku


Aku duduk dipayungi denyar lampu kota dengan melihat tikus-tikus bermobil yang baru saja melewatiku. Monyet-monyet berjam tangan dengan tas-tas belanjaannya berlalu-lalang melewatiku. Tak seorang pun menyinggahi sepasang matanya padaku. Memang dasar monyet-monyet dan tikus-tikus itu! Mereka kira aku bukan bagian dari mereka; pipiku yang bertompel hitam besar dan lidahku yang meninggi itu, membuatku menjadi berbeda.
Si tikus-tikus berkendaraan motor berpura-pura tidak tahu jika aku tengah duduk di tepian jalan, menyetubuhi debu dan asap kendaraan milik mereka tiap harinya. Mereka terlalu sibuk mengeruk keju-keju di tempat-tempat gelap yang tak terpikirkan monyet-monyet. Sedangkan si monyet-monyet, yang juga tahu aku yang tidur beralaskan bumi, berlangitkan cakrawala dan berlampukan bulan, tetap jalan begitu saja seolah aku tak ada. Mereka terlalu sibuk menggelar kompetisi dengan waktu dan menjilati tikus-tikus. Sebab, mereka kira aku bukan bagian dari mereka; tompelku hitam berambut dan lidahku yang memanjang serta tinggi itu, membuatku menjadi berbeda.
Ada yang sepertiku, tapi sudah lama diringkus oleh tikus-tikus itu. Sebelum diberangus tikus-tikus itu, yang sepertiku membisik padaku; “Kita akan disinggahi dan dirawat oleh tikus-tikus serta monyet-monyet itu jikalau sudah memasuki bulan keenam.”
“Bulan keenam?”
“Ya, mereka akan menjelma menjadi seperti kita, bertompel dan bermalampati.”
“Aku tidak mengerti.”
“Ah, kau nantinya akan mengerti. Mereka melempari kita pisang dan keju, tapi sesungguhnya yang kita makan hanya kulitnya.”
Kali ini aku tahu. Ini bulan Agustus, yang kudapat hanya seonggok kulit pisang yang sudah membusuk. Aku masih ingat tadi; kecamuk amarahku pada si tikus-tikus dan monyet-monyet itu yang hanya melewatiku begitu saja karena aku berbeda, tapi detik ini, kecamuk itu lesap. Aku memang berbeda; sebab aku bukan monyet dan tikus.
Tikus bermobil dan monyet berpakaian mewah itu kembali lewat didepanku. Tak mereka singgahi pandang matanya padaku. Aku tak mengapa; kurasa yang ‘bertompel’ dan ‘bermalampati’ itu adalah mereka. Tikus-tikus yang terlalu sering mengambil keju-keju di tempat persmebunyian monyet, kali ini bisa kulihat tompel besar di telapak tangan mereka – akan kusarankan pada mereka untuk sering cuci tangan. Lalu, monyet-monyet yang kerap kali menjilat-jilat punggung si tikus, kali ini bisa kulihat lidah malampati mereka – akan kusarankan pada mereka untuk sering memerhatikan diri ketika menelan ludah; agar mereka tahu apa artinya.
Aku memang berbeda; karena aku manusia – dan mereka, binatang-binatang yang hijrah dari hutan dan melabeli diri mereka sebagai manusia. Mereka memang berbeda. Terakhir, kulihat tubuh mereka tenggelam oleh denyar yang keluar dari jepret kamera di depan televisi.

*sebuah kisah singkat yang ditulis dalam waktu dua puluh menit dalam ketegangan saat workshop bersama Agus Noor, menggunakan teknik tiga kata, yang kala itu, aku mendapat kata; malampati, tompel dan denyar-denyar.
This entry was posted in

1 comment: