Malam
itu terlewati. Kukenakan kebaya hijau, bercermin beberapa kali – meragu, apakah
waktu benar-benar telah mengantarku pada potong bagian hidup yang ini. Beberapa
kali aku mengecek waktu di layar ponsel, beberapa menit lagi mobil akan datang –
menjemputku ke sebuah gedung yang sudah disewa untuk menjadi saksi bisu
perjalanan tiga tahunan. Aku terdiam cukup lama di ruang tengah, langit di luar
sana seperti lapangan beraspal kelabu dengan awan-awan yang berbaris rapi. Ada
kenangan yang terjalin, kemudian terpilin-pilin di relung hati yang mendung. Ini
tiga tahun yang sederhana, aku kerap tertawa. Terlebih ketika aku sudah sampai
di gedung itu, menonton sebuah video yang berdurasi panjang, menampilkan
deretan foto awal MBS hingga kelulusan. Mengingatkanku pada awal; menangi
ketika menocba beradaptasi dengan lingkungan baru, lalu memendam rasa pada
orang-orang, membuat kelompok persahabatan yang suka sekali memperdebatkan
hal-hal gila, berganti kelas, menggalau ria, menetapkan musuh bersama,
mengikuti rencana-rencana jahil, melibatkan diri dalam politik sekolah, terjun
dalam klub dan organisasi, hingga sampai di sini; dengan segumpal keraguan pada
waktu, apa benar, semua ini lalu berakhir? Aku diremuk redam rona masa lalu.
“Farewell to the, farewell to the.
Our golden days are coming to an end. But we will hope for brighter days to.
Come when friend shall meet with friend.”
Kuberikan
sekuntum mawar pada seorang guru, membacakan puisi dengan iringan lagu pisah
dalam sebuah paduan suara. Kuseolah merasa jika gedung itu penuh kabut dengan
orang-orang didalamnya yang bergerak lambat karena dikurung oleh tangis yang
tertahan dan disesaki oleh kenangan yang kembang kempis. Aku gemetar, ketakutan
merayapiku, merangkak menjalari tubuhku; tak akan ada lagi bangku-bangku kayu sekolah
dengan sahabat-sahabat lama yang duduk mengellingiku. Ini selalu hari dan acara
yang berat. Diakhiri dengan memotret waktu dan merekam jejak dalam bentuk
lembar-lembar foto yang dipigura – yang nantinya akan kusimpan dalam album,
berdebu karena tak bernai kusentuh bertahun-tahun; sebab membuka terus-menerus
berarti membiarkan ingatan lampau menggerogoti kalbuku tanpa ampun.
“Im thankful for our little
infinity.”
Sama
seperti tiga tahun lalu sebelum aku berseragam rok abu-abu, kupeluk sahabatku
dengan erat; sahabat yang menjanjikan kebersamaan yang tak berakhir, tak
terputus, tak tertebas. Ini hanya persoalan merawat cinta. Dan, kita menang.
hey mi monstruo... just to let you know, im watching you................................
ReplyDelete