Kamu;
yang bermanik mata apel. Kulihat kamu petang hari ini sedang menunggu meja di
sebuah bar tempat kamu bekerja paruh waktu. Kadang kala kamu dapatkan jam kerja
malam, membuatmu subuh hari baru menyambut rumah; membuatku kehilanganmu
waktu-waktu dekat ini. Kumainkan potong-potong apel hijau di atas piring
kacaku; ingatkah kamu tentang ini semua.
…lucu
jika mengingat, seseorang yang awalnya tidak berarti apa-apa bagi kita, menjadi
seseorang yang berarti segalanya di kemudian hari. Andai kamu mengingatnya,
lelaki bermata apel. Itulah pertemuan awal kita.
…lantas,
untuk pertama kalinya kita jadi satu tim. Lalu karena ada kamu, tim aku kalah.
Kamu tidka terlalu sigap diberi beban angka-angka. Aku tidak marah, sebab jika
sekarang kubayangkan, bukankah itu pertama kali kita tertawa bersama?
…aku
tidak mengira jika kita akan terus berada dalam satu kelas yang sama selama
tiga tahun ini. Bahkan di tahun awal, ketika kita bergabung dalam sejumlah
project tugas sekolah, tak jua kuperhatikanmu. Aku terlalu sibuk oleh lelaki
yang mencuri rembulan dan lelaki lainnya yang mencintai teh hingga membuatku
gila. Dan, kamu datang, menawariku rangkulan kecil dengan rona kehangatan di
tiap tatap kantuk mata apelmu.
…aku
tahu masa lalumu ketika kamu mulai ceritakan itu. Aku takut menebak jika kamu
memang tidak pernah beranjak dari dekap-dekap lampau. Tiap kamu menghitung
bintang, pulang di pertengahan malam melewati gang-gang sempit nan sepi,
berselancar di dunia keduamu, menyentuh remah-remah pembahasan akan cinta, yang
terbayang olehmu adalah seorang gadis yang hanya kutahu inisial namanya saja.
…ketika kukira semuanya bisa kuatasi. Aku hanya butuh waktu tiap harinya untuk menekan rasa, membuangnya di atas lembar kertas, menghapusnya lewat bantuan waktu dan jarak, ditambah kesibukkan barumu menunggui meja. Tapi apa yang kutemukan, kita bertemu di sebuah pesta, kamu berpakaian rapi dengan tampannya layaknya bersedia meminang rindu ini menjadi cinta. Namun di ruang pikirku, aku selalu berbisik; seharusnya kamu bisa dapatkan lebih dariku.
…ketika kukira semuanya bisa kuatasi. Aku hanya butuh waktu tiap harinya untuk menekan rasa, membuangnya di atas lembar kertas, menghapusnya lewat bantuan waktu dan jarak, ditambah kesibukkan barumu menunggui meja. Tapi apa yang kutemukan, kita bertemu di sebuah pesta, kamu berpakaian rapi dengan tampannya layaknya bersedia meminang rindu ini menjadi cinta. Namun di ruang pikirku, aku selalu berbisik; seharusnya kamu bisa dapatkan lebih dariku.
Ponselku
bergetar. Pesan darimu. Dan rasa itu sepintas membuncah lagi. Kamu; yang
bermata manik apel. Beruntunglah, kamu bukan pengingat yang baik. Kamu pelupa.
Maka,
kamu melupa…
...lupa
jika…
aku mencintaimu.
0 Comments:
Post a Comment