Bukan
organisasi, bukan pula komunitas. Melainkan berupa gerakan dari satu individu
ke individu lain, melakukan suatu hal sederhana untuk tujuan besar. Berawal
dari niat, kesadaran dan kepedulian. Sejumlah tangan diulurkan, merangkul Bumi
yang tengah rapuh. Bersama menyebarkan virus ‘hijau’ dan menjadikan green lifestyle sebagai trendsetter baru. Itulah Earth Hour
Tangerang. Gina Karina sebagai founder utama, bersama anak-anak peduli
lingkungan lainnya memulai gerakan hijau Earth Hour Tangerang ini pada tahun
2008 dibawah naungan Earth Hour Indonesia dan diresmikan di pusat Kota
Tangerang lewat selebrasi pada tahun 2012.
Selama gerakannya, masalah lingkungan utama yang sering kali ditemui di Tangerang adalah sampah plastik. Ini dikarenakan kantong plastik yang sering kali digunakan dalam kebutuhan belanja sehari-hari.
Selama gerakannya, masalah lingkungan utama yang sering kali ditemui di Tangerang adalah sampah plastik. Ini dikarenakan kantong plastik yang sering kali digunakan dalam kebutuhan belanja sehari-hari.
“Kami
punya gerakan yang dinamakan Diet Kantong Plastik (DKP). Dalam gerakan ini,
kami kami tak meminta masyarakat menghentikan penggunaan plastik, tapi menguranginya,”
ujar Dessy Iwanti, salah satu relawan di bidang jejaring media Earth Hour
Tangerang dengan senyum kecil. Diakui rekannya sesama relawan, Kelik
Fidwiyanto, tumpukan sampah plastik di pintu air dan bantaran sungai menjadi
pemandangan sehari-hari di sekitaran sungai Kota Tangerang. Maka itu, Earth
Hour Tangerang dengan serius menanganinya dengan program penukaran 10 kantung
plastik dengan satu tas belanja ramah lingkungan (reusable-bag).
Sikap
konsumtif dan apatis menjadi akar permasalahan lingkungan di Kota Tangerang
disetujui oleh Kelik dan Dessy. Kurangnya kebijaksaan masyarakat dalam pemakaian
energi dan mengonsumsi makanan berdampak pada gaya hidup yang jauh dari hijau.
Tingkat kesadaran yang rendah dan tidak mau tahu menyulitkan diri untuk peduli
sekitar. Untuk itu, tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal
5 Juni kemarin menjadi refleksi penyelesaian sebab masalah lingkungan.
“Think.
Eat. Save. Tema ini memiliki sejuta arti hijau. Think berarti kita berpikir tindakan
yang kita lakukan menyumbang karbon bagi Bumi atau tidak. Eat berarti
menghindari budaya konsumtif, memakan makanan secara bijaksana dan tidak
menyisakan makanan. Save berarti saat kita sudah mampu melaksanakan kedua hal
tersebut, kita tengah menyelamatkan,” tutur Kelik, seorang lelaki berkaca mata bingkai
hitam ini dengan ramah. Dalam mewujudkannya, Earth Hour Tangerang yang bergerak
secara volunteer dan nonprofit ini punya cara unik, yaitu melaksanakan program KUMBANG
dan LAKSA.
LAKSA
adalah Latihan Kepemimpinan Bersama, yang diisi dengan permainan-permainan
tradisional yang diikuti oleh para relawan. Sama halnya setiap permainan, selalu
ada yang menang dan kalah. Untuk yang kalah, akan diminta menyiram tanaman,
menanam pohon atau membersihkan puing sampah. Nama LAKSA sendiri diambil dari
nama makanan khas kota Tangerang. Setelah mengikuti LAKSA, biasanya program
selanjutnya adalah KUMBANG (Kumpul Belajar Bareng), ini lebih mengarah pada
pembinaan dan pengenalan kepada para relawan tentang apa itu Earth Hour.
Sesekali, Earth Hour Tangerang juga mengadakan school campaign dan street
campaign. Sejenis kampanye yang menghimbau masyarakat secara dini untuk
melakukan aksi peduli lingkungan sederhana seperti menggunakan transportasi
publik untuk mengurangi polusi, mematikan listrik, membawa tas belanja sendiri
dan lainnya. Kampanye ini juga menggunakan tagline ‘Ini Aksiku, Mana Aksimu’, sebuah tagline khas Earth Hour yang
menantang diri sendiir untuk bergerak melakukan aksi peduli lingkungan yang
nyata.
Bagi
Earth Hour Tangerang, ketika kita tengah melakukan aksi peduli lingkungan,
sesungguhnya kita bukan menyelamatkan Bumi, tapi menyelamatkan diri sendiri.
Sebab, Bumi adalah tempat tinggal kita. Selamatkan Bumi sekarang atau kita
membunuh diri kita sendiri. Maka, kita bersama tunjukkan aksi peduli kita.
Kepedulian terhadap Bumi bukan kepedulian seorang diri, melainkan kepedulian
bersama. Dan misi kepedulian ini adalah misi tanpa akhir.
“Jikalau
Bumi memiliki kaki, ia akan menendang. Jikalau Bumi memiliki tangan, ia akan
menggaruk. Jikalau Bumi memiliki hati, ia akan mengamuk dengan begitu sakit dan
perih. Namun, Bumi tak memiliki itu semua, kini ia tak berdaya. Maka, lewat
gempa, banjir, tanah longsor dan bencana lainnya, Bumi tengah berbicara pada
kita. Marilah bersama kita peduli, mulai dari diri sendiri dan berangkat hal
kecil,” jelas Kelik penuh arti menutup wawancara panjang yang berlangsung di
salah satu resto donat yang sepi siang itu. (ver/ft.dok EHTangerang)
*artikel ini pernah dimuat di Tabloid Banten Muda no. 17, edisi Generasi Hijau
0 Comments:
Post a Comment