“…menulislah seperti
kita bernafas, maka kita akan hidup dalam dunia ide-ide.”
– Seno Gumira
Ajidarma
“Ketika
menulis, dan mengembara mencari jalan cerita, pikiran harus merdeka. Bebas.
Tapi, tak hanya bebas saja yang jadi syarat utama, kita juga harus lebih peka
terhadap sekitar. Lebih mengembangkan hal-hal sederhana. Kuncinya, kembangkan
apa yang mungkin!” ujar beliau tanpa lepas dari selingan tawa di akhir
penjelasannya. Yang dimaksud Seno dalam mengembangkan hal sederhana,
dicontohkan beliau dalam sebuah kasus.Seno
Gumira Ajidarma, atau lebih akrab disapa Seno, membuka workshop pagi itu (25/6)
di Gedung Kompas Gramedia, tepatnya di Diklat Kompas, Ruang Nakula – Sadewa
dengan gaya bercerita yang ramah. Dengan pakaian berwarna serba hitam, Seno
membuka segmen pertama workshop tersebut dengan meminta salah satu peserta
untuk maju. Salah satu peserta berpakaian baju merah dengan celana kelabu,
lengkap dengan boots merah muda pun maju ke depan ruangan itu. Seno mulai
memburu peserta yang hadir di ruangan itu dengan banyak pertanyaan sederhana;
“Apakah pantas kawan didepan kalian, dengan penampilan yang seperti ini disebut
anak Camat, anak seniman atau anak pejabat? Silakan pilih”. Kami pun serempak
memilih anak seniman. Lalu, Seno mengembangkan pertanyaan lagi dan lagi, hingga
terasa ‘absurd’ dan membentuk satu keutuhan plot.
Anggaplah seorang pengemudi mobil
yang berhenti di tengah jalan karena macet, baru disadarinya, kemacetan terjadi
karena ada mayat yang berhari-hari tergeletak di jalan tanpa ada yang tergerak
untuk menolongnya, hanya ditutupi koran begitu saja. Dikarenakan orang-orang
yang ‘mau’ menolongnya selalu melihat ke
arah jam tangan.
Saat
itu, kami mulai menyerap contoh kasus dari Seno, dan mulai tersenyum sendiri
karena membayangkan ke mana cerita ini akan dibawa. Seno, tanpa menghabiskan
waktu banyak, langsung menyodorkan kami sebuah contoh lainnya untuk menjabarkan
maksud beliau mengenai ‘mengembangkan apa yang mungkin’.
“Kembangkan
suatu hal yang memungkinkan untuk menjadi cerita. Tapi, perhatikan juga
kelayakannya – apakah memiliki standar atau kepentingan yang cukup untuk
dijadikan cerpen. Bisa saja, hal paling sederhana dan kecil, kita jadikan
menjadi penting. Itu juga bisa. Standar dan kepentingan itu bisa didapat dengan
melihat ironi yang ada,” jelas Seno, sambil berjalan di depan ruangan dan
menyapu pandang ke tiap mata kami yang memaku penuh serius pada beliau. Beliau
kembali tersenyum dan tertawa kecil sembari mencipta contoh-contoh kasus ironi.
Anggaplah ada dua kasus. Kasus
pertama, PSK yang kesehariannya bekerja di Dolly, demi memenuhi hidup satu
keluarganya – nenek, anak beserta ibunya. Menurutnya, hidup keluarganya lebih
penting dibanding hidupnya. Maka, PSK tersebut ‘mengorbankan’ kehidupannya demi
hidup keluarganya. Kasus Kedua, seorang pejabat koruptor yang sengaja mengambil
uang sekian banyak orang demi keluarganya agar naik haji, tak peduli jika
nantinya ia tertangkap – yang penting keluarganya sudah ‘putih – bersih’,
keluarganya yang sudah putih – bersih dengan sendirinya akan mengangkat namanya
walau sebagai koruptor. Pikirkan, mana yang ironi? Mana yang lebih jahat?
Kami
terdiam sembari mengangguk-angguk. Sejak awal hingga akhir, Seno terus
menghantam kami dari satu contoh ide ke contoh ide lainnya – mengajak kami
untuk lebih menggairahkan diri menangkap ide. Terlebih untuk ide-ide ironi.
Ironi dan absurditas ada dimana-mana, hanya tergantung bagaimana cara kami
menangkapnya. Dan, agar mudah untuk menangkap ‘si ide’ ini, banyak tips-nya.
Seno mengutip kalimat Budi Darma bahwa kami harus bergaul dengan ide-ide bagus.
Maka itu, Seno hendak menyampaikan pada kami jika kunci utama ketika ingin
menulis adalah tiap harinya bergumul dengan ide-ide, apapun itu – karena ide
bertebaran dimana-mana; di koran, di ruang pikiran, di televisi, di palang
iklan dll. Ini sejalan dengan salah satu
ungkapan Putu Wijaya yang aku suka; “Lihat apa aja itu dan jadikan rangsangan
untuk menulis!”
Ketika
ide sudah didapat, Seno juga menuturkan agar kami mempunyai ‘angle’ yang
berbeda dari kebanyakan orang melihatnya – suatu hal yang ‘tersendiri’ dan
‘unik’. Dengan begitu, kami bisa menghancurkan mitos bahwa sastra itu hanya
curhatan, harus ‘puitik dan mendayu-dayu’. Hancurkan itu, sebab sastra bagi
penulis adalah tempat untuk menyuarakan sesuatu.
Lalu,
ditengah-tengah pembahasan mengenai ide, Seno mendapatkan satu pertanyaan
menarik – mengenai bagaimana jika ide yang sudah didapatkan, hampir sama dengan
ide yang sudah dituliskan penulis lain?
“Walaupun
terasa sama dengan ide yang lain, pastikan apa yang kita tulis hanya kita yang bisa
menulisnya!” jawab Seno dengan lugas. Kami kembali manggut-manggut dan
terlempar pada imaji-imaji mengenai cerpen-cerpen senja milik beliau, hihi.
Sejak
itu, Seno mulai dihujani banyak pertanyaan. Salah satunya tentang; Apa manfaat
membaca bagi penulis? Apa efeknya dalam pengembaraan menemukan harta karun
berupa ide? Seno menjawabnya dengan mantap sambil sesekali menyibak rambut
gondrong khas beliau.
“Mengapa
kita harus membaca? Sebab ketika kita membaca, pastinya akan ada sesuatu yang
menempel dan menarik perhatian kita. Kita pun mulai mengeksplor dan berkutat
dengannya lebih lama, setelah itu perlahan akan jadi sebuah ide untuk ditulis.”
Pertanyaan
lainnya pun kembali terdengar dari tengah ruangan, salah satu peserta mengeluh
jika cerpen-cerpen yang ia buat lebih banyak menganut ending yang menggantung –
dan pembaca-pembacanya tidak terlalu menyukai ending gantung seperti itu.
Namun, ternyata Seno memiliki pandangan lain.
“Jadilah
dirimu sendiri. Lagipula, ending menggantung adalah sebuah misteri. Misteri
akan menarik jika terus menjadi misteri. Tidak ada yang salah dan hal yang
harus diubah dari ending menggantung – ataupun menyisakan pertanyaan,” jawab Seno
ramah, dalam kesempatan itu, Seno juga ikut menyampaikan tidak ada salahnya
jika cerita berangkat dari pengalaman pribadi. Tidak ada yang harus diubah jika
itu memang gaya menulis dari diri kita; “Jadilah dirimu sendiri.”
Kami
pun tertegun. Di sela sesi tanya-jawab, Seno juga sempat menyelipkan pembahasan
mengenai editing dan klise. Menurut beliau, editing itu sederhana – tulisan
yang sudah jadi, dilihat-lihat lagi. Hal tersebut diutarakan beliau agar kami
semua memahami jika editing begitu penting dan tidaklah menakutkan.
“Begitupula
halnya dengan klise, menghindari klise itu mudah, balik saja ceritanya!”
Ini
menarik, kadang kita berpikir ide yang sudah kita dapat klise, lantas kita
buang begitu saja, padahal yang klise-klise inilah yang bisa jadi ‘sesuatu’
andai saja kita mengikuti saran Seno; balik saja. Apapun yang dibalik akan jadi
beda. Seno memang keren! (Ssst, Seno membutuhkan waktu empat tahun untuk mengirimi karyanya terus-terusan ke Kompas sebelum akhirnya dimuat seperti sekarang ini)
Workshop
bertemakan ‘Buka Mata, Bedah Dunia Lewat Cerpen’ dengan permateri Seno Gumira
Ajidarma tersebut berakhir dengan sesi booksigning
dan selfie bersama para peserta workshop. Seno sudah berhasil membuka mata
kita agar ‘menulisi dunia’ dalam cerpen. Salam literasi untuk semua.
Tentang Seno Gumira
Ajidarma
Dilahirkan tahun 1958.
Bekerja sebagai wartawan dari 1997. Mulai 1985 bekerja untuk Gramedia Majalah.
Menulis tentang kebudayaan kontemporer di berbagai meida, menerima sejumlah
penghargaan sastra dan mengajar di berbagai perguruan tinggi. Pernah
memenangkan Cerpen Terbaik Kompas
tahun 1993, 2007, dan 2010; seluruh cerpennya yang pernah dimuat Kompas
(1978-2013) direncanakan terbit dengan judul Senja dan Cinta yang Berdarah oleh Penerbit Buku Kompas.
Sip, bermanfaat sekali. Artikelnya juga bagus. Terima kasih...
ReplyDelete