"…kita membutuhkan relasi yang intim antara penulis dengan tulisannya.” – Putu Fajar Arcana
Editor
cerpen Kompas Minggu, Bli Putu Fajar Arcana turut mengisi materi workshop
pelatihan menulis cerpen harian Kompas (25/6 – Gd. Kompas Gramedia Palmerah
Selatan). Putu Fajar Arcana mengawalinya dengan memutar salah satu musik klasik
yang dimainkan dengan biola, lewat laptop beliau. Lampu-lampu di ruangan pun
dimatikan, kami semua diminta untuk merilekskan diri dan menenangkan pikiran –
meresapi denting-denting nada. Cukup lama, sekitar lima belas setelahnya, Putu
Fajar Arcana pun mematikan musik dan menyalakan lampu ruangan. Kami semua
diminta untuk menuliskan apa yang kami pikirkan dan rasakan seusai mendengar
music tersebut dalam waktu lima menit – singkat saja, dalam satu paragraf. Aku
sendiri menulis apa yang tegrambar di benakku ketika mendangr music klasik itu
:
Aku merasa terlempar di antara setubuh sunyi dan gelap. Seolah menjadi seorang perempuan yang menyimpan kekasihnya yang sudah meninggal dalam kamar bertikus tanpa cahaya dengan bau apak yang bersarang di dalamnya. Lalu, aku duduk menantang purnama sembari memejamkan mata, menikmati tubuh kekasihku sendiri membusuk dan telah jadi tulang belulang, perlahan mati bersamanya.
Tanpa diberi jeda yang lama, Putu Fajar
Arcana tiba-tiba membagikan sobekan koran Kompas dari kolom ekonomi. Sobekan
yang hanya sebesar setengah telapak tangan itu dibagikan ke tiap-tiappeserta –
masing-masing kami mendapat satu sobekan kertas. Mengejutkannya, kami disuurh
untuk memilih sepuluh kata yang ada di sobekkan koran itu – apa saja dan tanpa
banyak pikir, untuk kemudian disusun menjadi satu kalimat utuh/ paragraph
singkat. Inilah sepuluh kata yang kupilih dari sobekan kertas koran dan kususun
paragrafnya: (lagi-lagi, dalam waktu lima menit)
Masalah
Permintaan
Terhambat
Diperhatikan
Saya
Kelangkaan
Ketidakpedulian
Pertama-tama
Terpenuhi
Menyatakan
Setelahnya, kami juga diminta menggabungkan kedua paragraph (dari yang music ke sobekan koran). Baru setelahnya kami membacakan hasil gabungan keduanya, yang nantinya dikomentari oleh Putu Fajar Arcana.Ceritanya: (dari sobekan koran)Saya merasa permintaan padanya untuk terus menungguku serasa terhambat. Sebab, di ruang hatinya sudah disesaki ketidakpedulian dan kelangkaan akan cinta. Pertama-tama, ia menyatakan jika menungguku adalah sebuah masalah. Sebuah permintaan yang tak mungkin terpenuhi, karena katanya, saya hanyalah perempuan di tepian jalan yang tak layak untuk diperhatikan.
“Maksud
dari latihan ini adalah agar kita tahu, jikalau ide itu bisa didapat hanya
dengan mendengar sebuah lagu/music dan bahkan dari sobekan kertas koran.
Buktinya, semua bisa menghasilkan cerita dari keduanya bukan? Teknik latihan
ini diterapkan dari kelas creative writing di universitas di Iowa, Amerika
Serikat, dan terbukti ampuh,” ujar Putu Fajar Arcana dengan ramah pada kami
semua.
Bukan
hanya latihan, Putu Fajar Arcana pun tak melewatkan tips-tips untuk para
cerpenis yang ingin karyanya dimuat Kompas.
1. Mengangkat
problem cultural
Akhir-akhir
ini jika kita membaca cerpen-cerpen yang termuat di Kompas Minggu, lebih banyak
mengangkat permasalahan di daerah-daerah. Tidak hanya terpaku pada ibu kota –
Jakarta dan Jawa. Hal-hal yang kedaerahan dan lokalitas sangatlah disukai,
sebab itu memberi tempat untuk pluralism.
2. Temukan
gaya menulis sendiri & orisinalitas
Banyak
cerpenis-cerpenis di Kompas yang bisa dikenali dengan gaya menulisnya. Seperti
Seno dengan senjanya dan Agus Noor dengan kunang-kunangnya. Coba temukan yang
menjadi khas diri kita sendiri dibanding harus mengikuti penulis lain. Untuk
sekarang, Kompas meminati setting-setting di pantai.
3. Ejaan
di kalimat pertama
Bagi
Putu Fajar Arcana, jika cerpenis yang mengirimi Kompas dengan karyanya yang
salah eja di kalimat pertama, itu adalah karya pertama yang akan dibuang Putu
Fajar Arcana. Maka, usahakan jangan sampai ada kesalahan pengetikkan, EYD atau
kekeliruan dalam pengejaan, terutama di kalimat pertama.
“Sebab,
itu menunjukkan bagaimana seorang cerpenis menghormati bahasa.”
Seusai
memberi tiga tips kilat tersebut pada kami semua, bli Putu Fajar Arcana juga
mengingatkan kami betapa pentingnya imajinasi dan keterampilan. Menurut beliau,
tanpa imajinasi, hidup ini kering. Juga, seorang cerpenis haruslah punya
keterampilan, sederhananya; keterampilan untuk membuat kalimat pertama yang
menarik. Beliau juga sedikit bercerita tentang proses kepenulisan beliau,
beliau jarang sekali bisa fokus menulis di kantor Kompas – beliau lebih suka
menulis tentang review kesenian dan pertunjukkan di sebuah ruang tenang bersama
lantunan musik-musik klasik; maka kami pun diminta untuk menemukam jam/waktu
produktif kami.
Sesi
bersama bli Putu Fajar Arcana tidak terlalu lama – hanya satu setengah jam,
sebelum akhirnya kami digiring ke Bentara Budaya Jakarta untuk menghadiri malam
penganugerahan cerpen terbaik pilihan Kompas 2013 yang akhirnya jatuh pada
cerpenis Intan Paramditha dengan karyanya yang berjudul ‘Klub Solidaritas Suami
Hilang’.
Segmen
bersama Putu Fajar Arcana yang singkat namun padat. Terima kasih, Bli!
Keren! Jadi pengen bikin cerpen buat dikirim ke Kompas nih. Hihi...
ReplyDeleteHebat........
ReplyDelete