Biar
kutebak – bukankah ini yang sering kita lakukan? Saling menebak dan bertaruh –
kau pasti tengah berdiri berjam-jam lamanya di sebuah kedai, memaksakan seulas
senyum yang menyembunyikan sejuta peluh akan keletihan, mengucapkan kalimat
yang sudah kau hafal di luar kepala dan menyilakan orang-orang untuk masuk. Kau
baru pulang ketika senja sudah habis dikemas dalam malam. Di hari pertama kau
memulai kebosanan itu, aku berdiri dipayungi kubah emas langit sore. Tengah
menimbang-nimbang, melempar ponsel ke kanan-kiri. Apakah ini saatnya aku
menanyakan kabarmu setelah sekian lama kita berusaha membangun dinding tak
kasat mata; berupa bentangan karpet jarak yang diam-diam semakin luas, dan
berpura-pura tidak memedulikan waktu yang merangkak di tengah-tengah kita
berdua. Surya seolah mengatakan padaku lewat tubuhnya yang sudah tinggal
seperempat dibenamkan bondong-bondong awan gelap; cepat ambil keputusan, ikuti
kemana rindu berjalan. Kemana rindu ini berpulang? Ke sepasang manik matamu
yang penuh tatap jenaka. Mata yang selalu mampu memeluk mataku dengan
kehangatan rumah atau rangkulan kawan dekat.
Adalah kamu, si lemah yang sudah
menyerah saat malam menuju setengah. Apa kabar?
Kuketikkan
pesan yang sudah melewati berjuta timbang perasaan itu padamu. Tak kurang dari semenit,
ponselku mengedip, menangkap perhatianku dengan segera. Kutengok pesan balasan
darimu, sekali lagi, walau dinding tak kasat mata itu masih ada, kau selalu
mampu meruntuhkannya dalam sekejap dan menerbitkan senyum sederhana di sudut
bibirku.
Kupertaruhkan rasa lelah selama
lebih dari lima jam. Waktu, terutama rute jalan menuju pulang, tak pernah mau
bersahabat.
Tawa
kecilku berderai mengiringi senja yang ditutup malam. Titik-titik cahaya yang
bergelantungan di kegelapan mulai berebut sapa padaku. Kuabaikan, ingin segera
jemari ini mengetik balasan lainnya. Tapi, aku terhenti. Ada teks singkat
lainnya darimu. Sebaris kalimat yang membuat bunga-bunga semu layu seketika
dari taman hatiku yang baru saja dihujani secercah harapan.
Gadis kekanakkan, si lemah ini
mengira kau akan datang kemari. Menjenguk dengan heboh ceria yang dimiliki
kanak-kanak.
Diam.
Bisu mengunci mulutku. Membuat kerongkonganku tercekat, lidahku dibuatnya kelu.
Bisu ternyata menyiksa – saat kehilangan kata, padahal begitu dibutuhkan.
Kecamuk mulai bergejolak di ruang hatiku; hai kamu yang di sana, yang berkeluh-kesah
tentang hari-hari yang kau pilih, aku menyayangimu. Namun, kau tahu, aku takut.
Itulah mengapa kubangun lagi dinding kasat mata itu, sebab ruang ini tak mampu
menampung pemenuhan janji-janji, menyediakan stok kalimat-kalimat manis,
memikirkan jalan-jalan kerelaan dan memastikan di ujung sana ada tanganku yang
selalu menggenggam erat di sampingmu.
Hey kamu, maaf, aku digerogoti
sakit yang membuatku tidak mampu bergerak menebas jarak sejauh itu. Bagaimana
dengan gadis-gadis lain di sana? Ada yang cocok sebagai incaran atau berhasil
menambat hatimu?
Aku
mengklik tombol ‘kirim’. Sekali lagi, aku hanya gadis kekanak-kanakkan yang
merindukan bulan, namun kukatakan pada rembulan untuk mencintai yang mampu
membuatnya terus tersenyum bercahaya; Surya.
*teruntuk kamu si mata jenaka; yang
selalu cerdas membaca tiap pesan yang kusematkan diam-diam di antara rimbun
kata.
0 Comments:
Post a Comment