Sunday, 18 May 2014

Regret

Biar kutebak – bukankah ini yang sering kita lakukan? Saling menebak dan bertaruh – kau pasti tengah berdiri berjam-jam lamanya di sebuah kedai, memaksakan seulas senyum yang menyembunyikan sejuta peluh akan keletihan, mengucapkan kalimat yang sudah kau hafal di luar kepala dan menyilakan orang-orang untuk masuk. Kau baru pulang ketika senja sudah habis dikemas dalam malam. Di hari pertama kau memulai kebosanan itu, aku berdiri dipayungi kubah emas langit sore. Tengah menimbang-nimbang, melempar ponsel ke kanan-kiri. Apakah ini saatnya aku menanyakan kabarmu setelah sekian lama kita berusaha membangun dinding tak kasat mata; berupa bentangan karpet jarak yang diam-diam semakin luas, dan berpura-pura tidak memedulikan waktu yang merangkak di tengah-tengah kita berdua. Surya seolah mengatakan padaku lewat tubuhnya yang sudah tinggal seperempat dibenamkan bondong-bondong awan gelap; cepat ambil keputusan, ikuti kemana rindu berjalan. Kemana rindu ini berpulang? Ke sepasang manik matamu yang penuh tatap jenaka. Mata yang selalu mampu memeluk mataku dengan kehangatan rumah atau rangkulan kawan dekat.
Adalah kamu, si lemah yang sudah menyerah saat malam menuju setengah. Apa kabar?
Kuketikkan pesan yang sudah melewati berjuta timbang perasaan itu padamu. Tak kurang dari semenit, ponselku mengedip, menangkap perhatianku dengan segera. Kutengok pesan balasan darimu, sekali lagi, walau dinding tak kasat mata itu masih ada, kau selalu mampu meruntuhkannya dalam sekejap dan menerbitkan senyum sederhana di sudut bibirku.
Kupertaruhkan rasa lelah selama lebih dari lima jam. Waktu, terutama rute jalan menuju pulang, tak pernah mau bersahabat.
Tawa kecilku berderai mengiringi senja yang ditutup malam. Titik-titik cahaya yang bergelantungan di kegelapan mulai berebut sapa padaku. Kuabaikan, ingin segera jemari ini mengetik balasan lainnya. Tapi, aku terhenti. Ada teks singkat lainnya darimu. Sebaris kalimat yang membuat bunga-bunga semu layu seketika dari taman hatiku yang baru saja dihujani secercah harapan.
Gadis kekanakkan, si lemah ini mengira kau akan datang kemari. Menjenguk dengan heboh ceria yang dimiliki kanak-kanak.
Diam. Bisu mengunci mulutku. Membuat kerongkonganku tercekat, lidahku dibuatnya kelu. Bisu ternyata menyiksa – saat kehilangan kata, padahal begitu dibutuhkan. Kecamuk mulai bergejolak di ruang hatiku; hai kamu yang di sana, yang berkeluh-kesah tentang hari-hari yang kau pilih, aku menyayangimu. Namun, kau tahu, aku takut. Itulah mengapa kubangun lagi dinding kasat mata itu, sebab ruang ini tak mampu menampung pemenuhan janji-janji, menyediakan stok kalimat-kalimat manis, memikirkan jalan-jalan kerelaan dan memastikan di ujung sana ada tanganku yang selalu menggenggam erat di sampingmu.
Hey kamu, maaf, aku digerogoti sakit yang membuatku tidak mampu bergerak menebas jarak sejauh itu. Bagaimana dengan gadis-gadis lain di sana? Ada yang cocok sebagai incaran atau berhasil menambat hatimu?
Aku mengklik tombol ‘kirim’. Sekali lagi, aku hanya gadis kekanak-kanakkan yang merindukan bulan, namun kukatakan pada rembulan untuk mencintai yang mampu membuatnya terus tersenyum bercahaya; Surya.
*teruntuk kamu si mata jenaka; yang selalu cerdas membaca tiap pesan yang kusematkan diam-diam di antara rimbun kata.

0 Comments:

Post a Comment