Kupandangi
hujan yang tumpah ruah di hadapan kita. Hujan ternyata sudah menemukan irama
ketukannya, ia turun pelan satu persatu, tidak lagi saling memburu – siapa yang
lebih cepat sampai di Bumi. Hujan kini menjelma tirai air yang indah
dipandangi. Sama seperti biasa, kita menikmatinya dalam diam – ditemani aroma
jeruk garmot dan daun teh yang menguar dari kedua cangkir porselen putih milik
kita. Kita membiarkan suara percik hujan yang mengenai aspal jalan dan menuruni
genteng bangunan menjadi alunan lagu yang menyejukkan. Kukira, semua akan
baik-baik saja, mengamati bulir hujan yang turun malu-malu dengan sengatan
dingin di permukaan kaca. Sampai kau tepuk pundakku lembut, baru kusadari
cangkirmu belum kau sentuh sedikitpun.
“Kita
tak bisa lagi memaknai hujan. Berhenti membaca hujan, tak mampu kita mengeja
satu persatu rerintiknya,” ucap kau, yang diiringi dengan kilat petir tepat di
atas kepala kita. Bersamaan dengan guruh guntur yang terdengar bergerak dari
kejauhan, mendekati kita.
Kau
tahu air mukaku berganti mendung. Dan, kau paling benci hujan yang turun di
wajahku yang kelabu. Lalu, kau menawari berdansa. Di tepi jalan, di tengah hujan
– yang entah mengapa, kini iramanya terdengar kacau. Seperti orchestra yang
rusak. Hujan menderas, disertai halilintar yang menampar langit dan suara
guntur yang seperti geraman dan bentakkan. Aku jadi berpikir, ini mungkin air
mata langit yang menjelma sebagai hujan.
“Berdansa?”
Aku pergi mencari payung. Payung biru tua yang tadi kubawa kemari.
“Untuk
apa mencari payung? Sejak kapan kau ingin berlindung dari hujan?” lanjut kau
sekali lagi, terlihat heran bercampur kesal. Dulu, aku tak pernah memerlukan
payung ketika melangkah menerobos tirai hujan. Tak peduli bagaimana pasukan air
itu memukul-mukul tubuhku dan menyiraminya hingga menyisa dingin yang
menggigil. Asalkan aku melangkah bersamamu, sudah ada teduh matamu yang
memayungiku. Tapi, kini berbeda. Kau tak lagi membisikkan senandung hujan, tak
lagi menguntai cerita bersama dan menyimpannya di rintik hujan. Maka, harus ada
yang memayungiku. Teduh yang lain; payung.
“Ini
hujan yang berbeda, sayang,” balasku pada kau. Kau mendengus, entah kesal,
marah atau sedih. Tiba-tiba, kau memanggil pelayan, memintanya mengganti
cangkir earl grey-mu dengan segelas kopi panas. Aku tertawa. Kisah kita
berakhir di situ. Di hari hujan – dimana aku mengira hari depanku selalu
bersamamu, nyatanya kau hanya meninggalkanku di kafe ramai di tengah hujan yang
menderas, dan kau tidak datang. Dan, kulihat kau tertawa di seberang sana,
merangkul si gadis berkulit salju, si gadis yang menawarimu segelas kopi.
*teruntuk kamu (seseorang di
episode Fall); si lelaki tatapan teduh, yang pernah menjadi sahabat kerjaku –
bahkan sampai sekarang, tanpa kau tahu, aku pernah menungguimu dengan segumpal
cinta di bawah hujan, hingga ia mereda. Dan, kau tak datang – sebab kau tak pernah tahu.
0 Comments:
Post a Comment