Sunday, 18 May 2014

Pulang

Matamu seperti mengantarku pulang. Kau tak tahu, aku selalu suka dengan apapun yang menyangkut pulang. Ia berarti kampung halaman yang hangat dengan nenek yang kerap kali menceritakan dongeng-dongeng putri kerajaaan sebelum tidur, atau kakek yang mengajakmu mengembara pada masa perjuangan. Ia berarti mendiamkan rindu setelah lama bertahan di tanah rantau. Tapi, matamu sore itu, menyisa firasat.
“Kuantar kau pulang, selamat menyelami hangatnya sore dan menikmati goresan jingga yang terhampar di singgasana senja.”
“Kau sendiri mau kemana? Ini rumah kita. Kita pulang bersama-sama.”
ini senja yang kau tunjuk, lalu aku memotretnya
“Ini rumah kita disini. Aku ingin pulang ke rumah kita sesungguhnya. Di sana.”
Aku diam. Bisu mengisi kekosongan tatap mata kita. Kau menunjuk ufuk barat, jauh di tempat matahari terbenam – atau mungkin tempat matahari bersembunyi mengintip kita berdua; mencuri dengar percakapan bisu kita. Aku mengikuti arah tunjukmu, memicingkan mata karena kilau emas di ujung senja sana.
“Pulang ke-” suaraku terputus ketika berbalik ke arahmu. Kamu tak lagi di samping. Di sebelahku. Seperti yang kamu janjikan. Kamu tak ada. Kamu menghilang. Gores jingga dan gurat emas masih menyinggahi langit sore. Kamu; ataukah ditelan senja? Sudah berapa kali kubilang, jangan bermain dengan senja dan segera pulang!
Udara sore masih berhembus. Memainkan selembar koran yang menampar pipiku. Koran yang sudah kuning, bercetakkan namamu cukup besar dalam sebuah bingkai peristiwa besar yang terjadi di kala senja. Samar, kudengar udara sore berbisik padaku. Katanya, darimu. Dari kerajaan senja di ufuk Barat sana, tempat dimana kamu berseru; “inilah pulang!”
“Aku berpulang.”
Senyap kemudian menyergap. Aku gemetar.
*direkam dalam jejak kata di kala remang senja diringkus habis oleh gulita malam. Aku selalu senang memotret senja, menukarnya dengan sebait kisah yang terjadi di pertengahan malam; tentang sedihnya kita berdua.

0 Comments:

Post a Comment