Matamu
seperti mengantarku pulang. Kau tak tahu, aku selalu suka dengan apapun yang
menyangkut pulang. Ia berarti kampung halaman yang hangat dengan nenek yang
kerap kali menceritakan dongeng-dongeng putri kerajaaan sebelum tidur, atau
kakek yang mengajakmu mengembara pada masa perjuangan. Ia berarti mendiamkan
rindu setelah lama bertahan di tanah rantau. Tapi, matamu sore itu, menyisa
firasat.
“Kuantar
kau pulang, selamat menyelami hangatnya sore dan menikmati goresan jingga yang
terhampar di singgasana senja.”
“Kau
sendiri mau kemana? Ini rumah kita. Kita pulang bersama-sama.”
ini senja yang kau tunjuk, lalu aku memotretnya |
“Ini
rumah kita disini. Aku ingin pulang ke rumah kita sesungguhnya. Di sana.”
Aku
diam. Bisu mengisi kekosongan tatap mata kita. Kau menunjuk ufuk barat, jauh di
tempat matahari terbenam – atau mungkin tempat matahari bersembunyi mengintip
kita berdua; mencuri dengar percakapan bisu kita. Aku mengikuti arah tunjukmu,
memicingkan mata karena kilau emas di ujung senja sana.
“Pulang
ke-” suaraku terputus ketika berbalik ke arahmu. Kamu tak lagi di samping. Di
sebelahku. Seperti yang kamu janjikan. Kamu tak ada. Kamu menghilang. Gores
jingga dan gurat emas masih menyinggahi langit sore. Kamu; ataukah ditelan
senja? Sudah berapa kali kubilang, jangan bermain dengan senja dan segera
pulang!
Udara
sore masih berhembus. Memainkan selembar koran yang menampar pipiku. Koran yang
sudah kuning, bercetakkan namamu cukup besar dalam sebuah bingkai peristiwa
besar yang terjadi di kala senja. Samar, kudengar udara sore berbisik padaku.
Katanya, darimu. Dari kerajaan senja di ufuk Barat sana, tempat dimana kamu
berseru; “inilah pulang!”
“Aku berpulang.”
Senyap
kemudian menyergap. Aku gemetar.
*direkam dalam jejak kata di kala
remang senja diringkus habis oleh gulita malam. Aku selalu senang memotret
senja, menukarnya dengan sebait kisah yang terjadi di pertengahan malam;
tentang sedihnya kita berdua.
0 Comments:
Post a Comment