Itu
lorong yang cukup ramai. Beberapa teman yang lewat menyapaku ramah atau hanya
menyinggahi senyum. Lalu, aku melihatmu duduk di atas meja yang sudah tak
terpakai, teronggok di depan mading sekolah. Ia mengamati lalu lalang
orang-orang. Sepertinya tengah menunggu seseorang. Cukup lama, membuatmu turun
dari meja, bersandar sejenak sambil mengamati perubahan mading sekolah yang
sudah dua tahun ditinggalkanmu. Dua tahun sudah berlalu, sejak kukatakan padamu
untuk menunggu. Dan, kamu hanya diam, tertawa kecil. Menggantung jawab tak
pasti. Hingga sekarang, kulihat kamu melempar mata rembulanmu pada gadis lain.
Gadis berambut panjang, bermata sipit, kulitnya putih mulus. Gadis yang
berminggu-minggu lalu datang kepadaku, mencurahkan galuh hatinya yang tertambat
oleh baris-baris kalimatmu. Gadis yang kukatakan padanya untuk menerimamu.
Nyatanya, kamu tengah jatuh cinta lagi, seperti yang pernah kamu katakan
padaku; gue gampang jatuh cinta, Ver.
Kamu; si lelaki pemotong rembulan, apa kabar? Sudah lama sekali.
Ah,
tiga tahun lalu, aku tahu ketika kamu katakan cinta, itu bukan gurauan. Sebab
kulewati malam-malam menyiksa setelahnya, mencoba mengusir bayangmu yang
menghantui tiap bagian mimpiku, menangisi lagu-lagu yang mengisahkan awal
pertemuan kita. Kamu; si lelaki pemanah rembulan, membuat hari-hariku selalu
lebih bersemangat dibanding sebelumnya. Tapi, kini, purnama berubah menjadi
hampa. Ada saat dimana bulan penuh menjadi bulan hampa. Void Moon. Detik-detik dimana semuanya bergerak menjadi sebuah
kesialan dalam astrologi Cina yang terkadang kita percayai. Dan aku percaya,
sejak kamu berikan ide cerita pertamamu untuk kutulis, itu terjadi saat bulan
hampa. Kamu hanya mengganti tinta hitam pada pena milikku dengan darah yang
menggenang di hati yang luka.
Malam
ini, tak ada bulan. Tak juga ada bayangmu lagi. Sebab semuanya telah berganti
hujan. Lalu senja. Dan, sekarang, aku bergelut dengan lelaki lain yang penuh
jenaka. Namun, terkadang aku mengingatmu. Terlebih ketika kutemukan pigura yang
membingkai potretmu dengan gadis itu. Aku tersenyum, diam cukup lama mengamati
lengkung senyummu, sebab kamu terlihat bahagia, tidak seperti dulu; saat
membincangkan cinta denganku. Mungkin sejak awal, kita memang sudah berjalan di
garis rapuh yang penuh dengan kesalahan.
Lalu,
aku melangkah melewati mading, tatap mata kita bertemu. Aku memicingkan mata,
haruskah kita menukar sapa? Bukankah dulu kamu berjanji menjadi kakakku
selamanya? Menjagaku dari ganasnya malam, menerangiku dari gelap malam dan
menemaniku dari kesendirian malam yang meringkus jiwa. Seharusnya tak ada sekat
canggung di antara kita. Lalu, kamu melambai tanganmu kecil. Aku menunduk
kepala sedikit, berusaha menyembunyikan senyum hambar. Kamu berlalu bersama
gadis itu. Usailah cerita kita.
Kamu;
si lelaki pencuri bulan, membiarkan bulan malam itu menjadi sabit. Kamu
memotongnya, menawariku apakah aku akan menyimpannya untukmu. Untuk kita.
Kukatakan padamu, aku tidak ingin mengusik malam. Dan, kamu mengembalikan rembulan
di tempatnya menggantung – atau justru kamu berikan pada gadis itu? Tapi,
kuyakin ia pun tidak menyimpannya, sebab rembulan tepat ada di atas kepalaku.
Kini, rembulan melihatku; menertawaiku.
*ini
kamu; si pangeran rembulan; yang kutulis kisah-kisahnya dalam episode Still. Sebab, rembulan masih menggantung di sana. Masih.
0 Comments:
Post a Comment