Katanya,
jika seikat persahabatan dijalani dan dijaga selama tujuh tahun, maka
persahabatan itu akan berlangsung selamanya. Kamu katakan padaku lewat
sambungan telepon di suatu malam yang pucat. Lantas, aku menghitung lamanya
persahabatan kita; enam tahun. Aku tertawa. Kita sama-sama diam, sebab kita
bersama tahu. Kita tengah mengulang waktu pada tahun-tahun awal kita bertemu.
Aku
mengenalmu sebagai sahabat yang pemalu di awal pertemuan kita, lalu kamu menjelma
menjadi sahabat tergila yang pernah kukenal. Kita menjadi rival sejati
sekaligus sahabat sampai mati. Kita saling berlomba, mengejar impian
masing-masing, menaruhkan segala usaha, mengadu semangat di sebuah ruang kelas
yang dipenuhi hiruk pikuk persaingan kita berdua. Mengenangnya selalu
menerbitkan senyum kecil di sudut bibir atau rasa geli di relung hati. Kita
terlalu serius dalam hal yang kekanak-kanakkan. Dan, kita kerap kali begitu
kanak-kanak dalam urusan yang serius. Tapi, bukankah begitu caranya membalikkan
hujan menjadi pelangi?
Itulah
kamu, sahabatku. Kamu; yang selalu menungguiku sehabis pulang sekolah. Duduk di
sebuah lorong tunggu yang kadang kala sudah diisi sunyinya siang. Hanya untuk
pulang bersama, membunuh waktu perjalanan pulang yang bosan jika dilewati
sendirian. Kamu; yang pernah secara spontan, muncul di pagar depan rumahku di
waktu menjelang pertengahan malam, dan menukar berpuluh, beribu dan berjuta
kisah akan banyak hal. Dan, membuatku kerap kali tertawa karena kekonyolan dan
kepercayaan diri kita berdua. Banyak yang bilang, pertemuan kita berdua adalah
hasil persetubuhan antara keramaian dan kebisingan, sebab kita selalu mampu
memecah hening menjadi perdebatan sengit dan meretakkan sunyi menjadi
percakapan panjang yang menghabiskan bercangkir-cangkir minuman berwarna. Kamu;
yang menawarkan sepotong senja menenangkan setelah aku dipayungi mendung. Sejak
itu, aku selalu memotret senja dalam tiap kisah yang kutulis. Sebab, ia
sepertimu. Senja yang selalu berarti pulang. Padamu, aku seolah merasakan
kehangatan berpulang pada rumah yang nyaman.
Mungkin,
pernah terbersit dibenakmu, aku terus menulis kisah tentang banyak orang.
Tentang orang-orang di sekitarku. Tentang mereka yang pernah menyinggahi tepian
hatiku dan memberi jejak berarti di sana. Namun, dari ratusan tulisan itu, tak
pernah sekalipun kutulis tentang kisahmu. Andai kamu tahu, sebab, kata-kata,
sebanyak apa pun itu, seindah apapun itu, tak pernah mampu sekalipun melukis
kebersamaan kita. Terlalu banyak. Terlalu indah. Hingga sederet dan sebaris
kata saja menyerah untuk menguntainya.
Bersama
tulisan ini, kuucapkan terima kasih padamu, sahabatku. Yang akhir April lalu, ia
potongkan senja pukul enam sore untukku. Kini, senja itu sudah kupangku.
Meresap perlahan pada kenangan kita. Menarikku untuk bercerita di sini kepada
dunia, jika aku merasa berharga pernah dan berharap selalu memilikimu,
sahabatku.
Sebab, memilikimu dalam persahabatan adalah hal berharga yang pernah kupunya,
Ricky Phan.
0 Comments:
Post a Comment