Sunday, 18 May 2014

Missing

Aku menjenguk beliau beberapa bulan silam. Tubuh renta beliau terlihat begitu ringkih, berjalan pelan. Kawanku dengan sigap memapahnya ke ruang tengah, aku mengikuti langkah mereka dari belakang. Ketika beliau sudah duduk di sofa kayu berwrna krem, aku mengambil duduk tepat di sampingnya. Kawanku tadi memilih menggeser bangku rotan dan duduk di hadapannya. Ia menopang dagu, menatap wajah beliau dengan tatap pedih yang pernah kutahu darinya.
“Sudah makan?” ujar kawanku memecah senyap yang merayap di ruang tengah yang pengap. Aku menyapu pandangan ke sekitar, hanya ada kipas angin berukuran sedang yang berdiri di pojok ruangan, menghembuskan udara yang terasa kering di siang terik hari itu.
Beliau mengangguk lemah, memaka senyum kecil. Lalu mulai bercerita dengan susah payah; tentang penyakit parah yang tengah menggerogoti rahimnya. Suaranya pelan, hampir berbisik lirih. Sepertinya beliau membutuhkan cukup banyak tenaga hanya untuk menemui kami dan berbicara. Aku merasa, menjenguk beliau hanya akan mengurangi waktu istirahat beliau yang pasti begitu dibutuhkannya. Sedari tadi aku hanya diam, sesekali mengelus pundaknya, berusaha menyalurkan sedikit ketenangan. Kutatap binar matanya yang telah lama redup, mungkin penyakit itu telah merebutnya. Namun, dari keredupan matanya, aku masih bisa membuka lembaran kisah akan kenangan yang kulalui bersama beliau.
Kuingat, kami pernah berpelukkan sehabis aku menjalani lomba yang menegangkan. Beliau memelukku erat, menggenggam kuat tanganku; katanya, ia ingin semua keraguan dan ketegangan itu berpindah padanya. Dan yang bersisa untukku hanya keyakinan dan tekad untuk melaju menyambut kemenangan. Kuingat, kami pernah menginap dalam satu hotel yang sama, beliau sengaja tidur di sofa, membiarkan anak-anak didiknya merehatkan diri di atas kasur empuk. Lalu, beliau bangun pagi-pagi sekali, mengajak kami olahraga batin dengan bermeditasi. Seolah tanpa lelah, ia menyulap meja makan yang tak terpakai sebagai tempat berlatih kemampuan sebelum maju perlombaan bagi anak didiknya. Kuingat, ia punya semangat yang begitu tinggi di bidang yang ia geluti. Keluh, hujam, hujat dan olokkan berkali-kali menusuknya dari belakang, tapi ia tetap berdiri tegak, katanya; masih ada orang yang mau belajar, lantas untuk apa ia menyerah?
Lamunanku lesap ketika beliau berbicara tentang kematian. Sebelum kekhawtairan tampak di mataku dan kawanku, beliau beralih. Beliau bilang, ia percaya. Lihatlah, banyak yang datang menjenguknya, ibunya datang jauh dari kampung halaman, anaknya setia menjaganya, orang-orang kost berusaha membuatnya nyaman. Ada banyak doa yang mengiringi usaha kesembuhannya. Kawanku gembira mendengarnya, ia sarankan aneka jus sayur dan buah pada beliau.
“Cepat sembuh, dan kembali seperti dulu. Kobarkan semangat,” sahutku akhirnya. Beali tersenyum lemah dan menggeleng kecil. Lalu mengajakku mengobrol sedikit tentang kabar lomba-lomba baru yang sudah banyak dilewatinya.
Hanya dua puluh menit, aku menghitungnya. Kami pun mengantar beliau kembali ke ruang kamarnya. Kali ini, aku yang memapahnya masuk. Beliau ucapkan terima kasih dan melambaikan tangan pada kami. Tiba-tiba sekelebat bayang tentang beliau ketika memboncengku dengan sepeda motornya menerobos sore, membincangkan rencana-rencana membuat festival, makan bersama di tenda di pinggir jalan dan kutulis selembar puisi penuh dukungan padanya. Kubalas lambaian tangan tersebut dengan ucapan sampai jumpa. Sebab aku selalu berharap itu bukan kunjungan terakhir hingga harus mengucapkan selamat tinggal. Selalu ada kesempatan bagi jumpa untuk menjemput rindu. Bukankah begitu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment