Aku
menjenguk beliau beberapa bulan silam. Tubuh renta beliau terlihat begitu
ringkih, berjalan pelan. Kawanku dengan sigap memapahnya ke ruang tengah, aku
mengikuti langkah mereka dari belakang. Ketika beliau sudah duduk di sofa kayu
berwrna krem, aku mengambil duduk tepat di sampingnya. Kawanku tadi memilih
menggeser bangku rotan dan duduk di hadapannya. Ia menopang dagu, menatap wajah
beliau dengan tatap pedih yang pernah kutahu darinya.
“Sudah
makan?” ujar kawanku memecah senyap yang merayap di ruang tengah yang pengap.
Aku menyapu pandangan ke sekitar, hanya ada kipas angin berukuran sedang yang
berdiri di pojok ruangan, menghembuskan udara yang terasa kering di siang terik
hari itu.
Beliau
mengangguk lemah, memaka senyum kecil. Lalu mulai bercerita dengan susah payah;
tentang penyakit parah yang tengah menggerogoti rahimnya. Suaranya pelan,
hampir berbisik lirih. Sepertinya beliau membutuhkan cukup banyak tenaga hanya
untuk menemui kami dan berbicara. Aku merasa, menjenguk beliau hanya akan
mengurangi waktu istirahat beliau yang pasti begitu dibutuhkannya. Sedari tadi
aku hanya diam, sesekali mengelus pundaknya, berusaha menyalurkan sedikit
ketenangan. Kutatap binar matanya yang telah lama redup, mungkin penyakit itu
telah merebutnya. Namun, dari keredupan matanya, aku masih bisa membuka
lembaran kisah akan kenangan yang kulalui bersama beliau.
Kuingat,
kami pernah berpelukkan sehabis aku menjalani lomba yang menegangkan. Beliau
memelukku erat, menggenggam kuat tanganku; katanya, ia ingin semua keraguan dan
ketegangan itu berpindah padanya. Dan yang bersisa untukku hanya keyakinan dan
tekad untuk melaju menyambut kemenangan. Kuingat, kami pernah menginap dalam
satu hotel yang sama, beliau sengaja tidur di sofa, membiarkan anak-anak
didiknya merehatkan diri di atas kasur empuk. Lalu, beliau bangun pagi-pagi
sekali, mengajak kami olahraga batin dengan bermeditasi. Seolah tanpa lelah, ia
menyulap meja makan yang tak terpakai sebagai tempat berlatih kemampuan sebelum
maju perlombaan bagi anak didiknya. Kuingat, ia punya semangat yang begitu
tinggi di bidang yang ia geluti. Keluh, hujam, hujat dan olokkan berkali-kali
menusuknya dari belakang, tapi ia tetap berdiri tegak, katanya; masih ada orang
yang mau belajar, lantas untuk apa ia menyerah?
Lamunanku
lesap ketika beliau berbicara tentang kematian. Sebelum kekhawtairan tampak di
mataku dan kawanku, beliau beralih. Beliau bilang, ia percaya. Lihatlah, banyak
yang datang menjenguknya, ibunya datang jauh dari kampung halaman, anaknya
setia menjaganya, orang-orang kost berusaha membuatnya nyaman. Ada banyak doa
yang mengiringi usaha kesembuhannya. Kawanku gembira mendengarnya, ia sarankan
aneka jus sayur dan buah pada beliau.
“Cepat
sembuh, dan kembali seperti dulu. Kobarkan semangat,” sahutku akhirnya. Beali
tersenyum lemah dan menggeleng kecil. Lalu mengajakku mengobrol sedikit tentang
kabar lomba-lomba baru yang sudah banyak dilewatinya.
Hanya
dua puluh menit, aku menghitungnya. Kami pun mengantar beliau kembali ke ruang
kamarnya. Kali ini, aku yang memapahnya masuk. Beliau ucapkan terima kasih dan
melambaikan tangan pada kami. Tiba-tiba sekelebat bayang tentang beliau ketika
memboncengku dengan sepeda motornya menerobos sore, membincangkan
rencana-rencana membuat festival, makan bersama di tenda di pinggir jalan dan
kutulis selembar puisi penuh dukungan padanya. Kubalas lambaian tangan tersebut
dengan ucapan sampai jumpa. Sebab aku selalu berharap itu bukan kunjungan
terakhir hingga harus mengucapkan selamat tinggal. Selalu ada kesempatan bagi
jumpa untuk menjemput rindu. Bukankah begitu.
0 Comments:
Post a Comment