Saturday, 31 May 2014

Insane


“…they said the best love is insane.”
Aku gila. Kutemui kamu di sebuah pesta semalam. Saat itu, deretan bangku yang sudah tersusun rapi itu masih sepi. Hanya ada beberapa bangku yang bisa kuhitung dengan jemari, yang baru terisi. Kudapati kamu duduk di barisan kedua; tidak terlalu depan – juga tidak begitu belakang. Lalu, kamu melihatku. Kamu berdiri menyambutku dengan minuman berwarna merah. Tak ada ajakkan dansa, minum hingga kita hanyut dalam sunyi malam ataukah pelukkan erat yang begitu lama. Kamu tertawa; kita memang selalu seperti ini. Tawamu membuatku dikurung gila.

Aku gila. Kamu tahu, aku menulis seratus tiga puluh halaman naskah cerita tentangmu. Kukira, sudah usai petualangan kita, sudah kubuang kisah kita di atas kertas-kertas itu. Tapi, tidak. You’re too charming and captivating to describe by the words. Melihatmu duduk satu bangku di depanku, dengan gaya rambut setengah emo, memandangku lembut, dengan tangan yang tertahan untuk saling merangkul, bersama manik mata jenaka itu, bisu-bisu; aku terjebak dalam gila.
Aku gila. Aku terus berpikir kita akan bersama, selamanya, selalu, tidak ada kata akhir. Kamu katakan suatu hari; tidak ada yang selamanya. Kamu benar, mungkin sebelumnya yang kutahu adalah sama sepertimu; tidak ada yang ‘selamanya’, tapi setelah melihatmu berdiri, sendiri dengan keping masa lalu yang sudah meremukkan hatimu hingga lebam dan aku tak pernah peduli. aku menemukan ‘selamanya’ ketika melihatmu. Kamu diam. Diam itu membisu, membingkai manik mata jenakamu yang ingin kudekap dan kugantung di langit-langit kamar, agar sebelum terlelap, mata kita bisa saling memeluk. Aku memang gila.
"they said the best insane is love..." 

Karenamu.

0 Comments:

Post a Comment