“…they said the best love is insane.”
Aku
gila. Kutemui kamu di sebuah pesta semalam. Saat itu, deretan bangku yang sudah
tersusun rapi itu masih sepi. Hanya ada beberapa bangku yang bisa kuhitung
dengan jemari, yang baru terisi. Kudapati kamu duduk di barisan kedua; tidak
terlalu depan – juga tidak begitu belakang. Lalu, kamu melihatku. Kamu berdiri
menyambutku dengan minuman berwarna merah. Tak ada ajakkan dansa, minum hingga
kita hanyut dalam sunyi malam ataukah pelukkan erat yang begitu lama. Kamu tertawa;
kita memang selalu seperti ini. Tawamu
membuatku dikurung gila.
Aku
gila. Kamu tahu, aku menulis seratus tiga puluh halaman naskah cerita
tentangmu. Kukira, sudah usai petualangan kita, sudah kubuang kisah kita di
atas kertas-kertas itu. Tapi, tidak. You’re
too charming and captivating to describe by the words. Melihatmu duduk satu
bangku di depanku, dengan gaya rambut setengah emo, memandangku lembut, dengan
tangan yang tertahan untuk saling merangkul, bersama manik mata jenaka itu,
bisu-bisu; aku terjebak dalam gila.
Aku
gila. Aku terus berpikir kita akan bersama, selamanya, selalu, tidak ada kata
akhir. Kamu katakan suatu hari; tidak ada yang selamanya. Kamu benar, mungkin sebelumnya
yang kutahu adalah sama sepertimu; tidak ada yang ‘selamanya’, tapi setelah
melihatmu berdiri, sendiri dengan keping masa lalu yang sudah meremukkan hatimu
hingga lebam dan aku tak pernah peduli. aku menemukan ‘selamanya’ ketika
melihatmu. Kamu diam. Diam itu membisu, membingkai manik mata jenakamu yang
ingin kudekap dan kugantung di langit-langit kamar, agar sebelum terlelap, mata
kita bisa saling memeluk. Aku memang gila.
"they said the best insane is love..."
Karenamu.
0 Comments:
Post a Comment