Nyaris
tiap malam sebelum tidur, aku selalu bermain-main dengan imajinasiku, berkhayal
menjadi tokoh-tokoh fiksi dalam dongeng, cerpen dan novel yang baru selesai
kubaca. Suatu hari, ketika aku jatuh cinta padamu, bisa kamu duga apa yang
kukhayalkan; aku seorang putri dari istana bertingkat yang begitu memesona dan
kamu adalah pangerannya – lengkap dengan kuda putih yang kamu naiki.
Menawarkanku waktu untuk berdansa, meneguk sampanye dan melihat konstelasi
bintang-bintang di langit. Lalu, aku memakaikanmu jubah raja dan kamu
meletakkan mahkota ratu padaku. Dan, kita merangkai kisah cinta abadi layaknya
di dongeng; ketika jarak dan waktu mampu dikalahkan oleh kekuatan cinta. Khas fiksi,
khas dongeng.
Tawa
kecil selalu berderai ketika kuketahui jika khayal yang menjelma mimpi adalah
bunga tidur. Layaknya bunga, ia akan layu. Lenyap selamanya. Tidak ada yang
bisa diharapkan dari pangeran dan putri yang menetap di ruang pikirku kecuali bayang-bayang
semu. Tapi, aku masih berjuang. Sebab, kamu dan aku adalah ada. Bagiku, kamu
masih seorang pangeran. Biar kubuktikan. Kamu selalu ada ketika kuceritakan
penggal-penggal masa laluku yang sering kali datang menghantuiku – mereka,
monster-monster masa lampauku, suka sekali datang mengolok-olok bayangku di
cermin, kata mereka; aku si buruk rupa, upik abu. Kamu datang dan merengkuhku,
bilang jika aku akan berubah layaknya Cinderella. Asalkan aku mau.
Kadang
aku tidak tahu dimana letak kesalahan kita. Apa bintang-bintang yang
bergelantungan itu, yang sering kita amati rasi dan kerlipnya, memiliki tafsir
yang salah tentang kita berdua? Apa tengah malam, yang sering kita bilang sunyi
yang melahirkan titik renung terbaik, memiliki simpulan yang salah tentang kamu
dan aku? Apa lagu-lagu sendu, yang sering kita dengarkan bersama karena kedua
penyanyinya memiliki hubungan yang istimewa, memiliki makna yang yang salah
tentang cinta? Sehingga sekarang ini, cinta kita sudah berkarat. Sampai-sampai
kita menjauhinya sebab sudah tua, rusak dan terlalu usang untuk diteruskan.
Detik-detik
ini, aku kerap tak pernah mengabsen memandangi cinta yang berkarat itu. Tak
kuketahui jika cinta pun ada waktu kadaluarsanya. Kupikir, jika ada rindu, amarah,
kasing, peduli, sayang, air mata dan berbagai emosi lainnya di ruang hati kita
masing-masing, akan mampu merawat cinta usang itu. Nyatanya yang kita punyai
hanya pendam-pendam bisu.
“Tidak, sebab aku bukan pangeran dan
kau bukan putri.”
Jikalau
memang aku bisa mencintai dengan baik layaknya putri dan pangeran hanya dalam
dunia mimpi dan khayalku, aku berharap tidak pernah bangun. Dan kita bisa happily ever after.
0 Comments:
Post a Comment