Kemarin,
di saat aku tengah bergelut dengan kebosanan. Sebuah pesan muncul di layar
ponsel sentuhku, teks singkat dari salah satu adik kelasku. Aku tersenyum
simpul, cerita apa lagi yang ingin dibaginya denganku. Kubuka pesan baru itu,
sebuah paragraf panjang diketikkannya padaku, menceritakan suatu hal yang baru
dilihatnya tadi siang saat pulang sekolah. Ia katakan jika sekitar dua anak
jalanan, mengamen di mobil angkutan kota yang dinaikinya bersama seorang ibu.
Lama kedua anak jalanan itu bernyanyi lirik lagu yang mencoba mengisahkan
bobroknya keadaan negeri. Negeri yang kaya melimpah oleh sumber daya tapi
mereka tetap saja dikukung kemiskinan.
Lalu, tiba-tiba, ibu yang duduk disampingnya turun dari mobil angkutan,
mengajak kedua anak itu untuk turun dari pijakkan mobil. Ibu itu membelikan
mereka berdua masing-masing sebungkus jajanan siomay di pinggir jalan.
“Jarang
deh lihat ada orang yang peduli banget kayak ibu itu, senang lihatnya,”
komentar adik kelasku itu. Aku termenung, diam-diam menyetujuinya. Pikiranku
mulai melayang, menyadari mungkin saja kedua anak itu lapar, mengamen sepanjang
hari, menguras keringat untuk beberapa receh yang menyulap menjadi butir-butir
nasi.
Berkali-kali,
aku hanya diam. Menatap layar ponsel. Benakku menempatkanku di sebuah bangku
pojok di mobil angkutan umum, pada hari siang dengan panas memanggang. Aku
ingat, seorang bapak paruh baya. Perawakkan kurus. Kulitnya cokelat gelap,
terasa sekali itu hasil dari terbakar matahari berjam-jam lamanya – atau
mungkin setiap harinya. Noda-noda hitam memenuhi sekujur tubuhnya, termasuk
pakaian kumuh yang ia kenakan – sepotong kemeja lengan panjang berwarna biru
tua, dan celana panjang kelabu yang sudah koyak di berbagai sisinya. Rambut
bapak paruh baya itu acak-acakkan – seperti tidak disisir setahun lebuih, mengembang
ke berbagai arah, ikal kribo, disangkuti oleh banyak sarang laba-laba dan debu
tebal, warnanya kusam dengan beberapa uban. Aku kerap kali melihatnya berada di
sebuah tempat sampah besar, pembuangan sampah yang begitu besar dengan sampah
yang volumenya begitu besar. Sampah-sampah penuh bau menusuk itu berserakkan
hingga ke jalan raya, sebab tempat sampah itu tak mampu menampungnya. Tiap kali
mobil angkutan umum yang membawaku pulang sekolah setiap harinya melewati
tempat sampah besar itu, aku selalu melihat bapak paruh baya itu di antaranya.
Tepatnya, di tengah gunung sampah, mengais makanan sisa hasil dari perut-perut
buncit yang membuang makanan utuh dengan mudah. Suatu hari, mobil angkutan
umumku berhenti tepat di depan tempat sampah itu. Kulihat bapak paruh baya itu
lagi, yang bagi banyak orang terkesan orang gila. Bapak itu jongkok dan
menemukan segumpal plastik yang berisikan makanan basah, dan memakannya dengan
lahap. Di antara baunya tumpukan sampah. Di tengah lalat, ulat dan serangga
yang berterbangan – bergeliat. Di pinggiran jalan penuh debu dan aspa knalpot.
Di tepian kali besar yang airnya menghitam. Bapak paruh baya itu makan setiap
hari. Lalu lalang kendaraan terus bergerak setiap harinya. Orang-orang larut
dalam kesibukkan, tenggelam dengan kompetisi masing-masing dalam mengejar
waktu.
Siang
itu, setelah menerima pesan singkat adik kelasku. Aku terdiam cukup lama,
mengingat kelebat bayang bapak paruh baya itu. Sudah lama tak lagi aku
melihatnya, sebab liburan sudah didepan mata, aku tak lagi harus pulang sekolah
dan melewatinya. Tapi, bersit tanya itu masih menancap di ulu hati; apa yang
dimakan bapak paruh baya itu hari ini?
0 Comments:
Post a Comment