Sunday, 27 April 2014

The Art Of Beauty

Ingin sekali aku mengatakan padanya sebuah percakapan yang ada di kepalaku padanya.
“Aku ingin kamu tahu, jika kamu adalah karya seni Tuhan yang terbaik dan memesona."
“Tidak, aku jelek. Tiap kali aku menyapa bayanganku di cermin, aku hanya mendapati air mataku yang terus jatuh, melihat seberapa buruk rupa dan upik abu-nya aku.”
“Kamu pernah ke pameran lukisan? Sini, biar kuajak kau. Kau lihat lukisan-lukisan ini?”
“Ya, tidak ada yang bagus. Semuanya hanya berupa goresan kacau dan warna yang dimainkan asal-asalan. Pelukisnya seperti tidak mengerti cara melukis!”
“Kamu salah. Justru, lukisan yang kamu bilang paling jelek itu adalah lukisan yang termahal yang dilelang di pameran ini. Kamu hanya tidak mengerti arti mendalam dibalik karya lukis itu. Tidak semua orang bisa menikmati dan mengerti makna lukisan itu, hanya orang-orang tertentu saja.”
“Aku semakin tidak mengerti maksud lukisan itu dengan obrolan kita tadi.”
“Kamu dengan lukisan tadi sama. Kalian adalah maya karya. Mungkin banyak yang mengolokmu kamu jelek, seperti kamu mengolok lukisan itu. Sebuah maha karya memang tidak dapat dimengerti dengan mudah, perlu penghayatan tinggi untuk menemukan kecantikkan dan keindahannya. Justru itulah yang membuatnya mahal dan begitu berharga. They just like you. It called the price of beauty. Art of beauty.”
Tiba-tiba, anak yang tengah menangisi dirinya di depan cermin itu terdiam. Ia melirik ke arahku.
“Tuhan adalah seniman terbaik, terlebih ketika menciptakanmu. Dan, satu lagi. Dia tak pernah salah.”
Lalu, kulihat seulas senyum tipisnya di pantulan cermin. Ia begitu cantik. Aku ikut tersenyum.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment