“Aku ingin kamu tahu, jika kamu adalah karya seni Tuhan yang terbaik dan memesona."
“Tidak, aku jelek. Tiap kali aku menyapa bayanganku di cermin, aku hanya mendapati air mataku yang terus jatuh, melihat seberapa buruk rupa dan upik abu-nya aku.”
“Kamu
pernah ke pameran lukisan? Sini, biar kuajak kau. Kau lihat lukisan-lukisan
ini?”
“Ya,
tidak ada yang bagus. Semuanya hanya berupa goresan kacau dan warna yang
dimainkan asal-asalan. Pelukisnya seperti tidak mengerti cara melukis!”
“Kamu
salah. Justru, lukisan yang kamu bilang paling jelek itu adalah lukisan yang
termahal yang dilelang di pameran ini. Kamu hanya tidak mengerti arti mendalam
dibalik karya lukis itu. Tidak semua orang bisa menikmati dan mengerti makna
lukisan itu, hanya orang-orang tertentu saja.”
“Aku
semakin tidak mengerti maksud lukisan itu dengan obrolan kita tadi.”
“Kamu
dengan lukisan tadi sama. Kalian adalah maya karya. Mungkin banyak yang
mengolokmu kamu jelek, seperti kamu mengolok lukisan itu. Sebuah maha karya
memang tidak dapat dimengerti dengan mudah, perlu penghayatan tinggi untuk
menemukan kecantikkan dan keindahannya. Justru itulah yang membuatnya mahal dan
begitu berharga. They just like you. It called the price of beauty. Art of beauty.”
Tiba-tiba,
anak yang tengah menangisi dirinya di depan cermin itu terdiam. Ia melirik ke
arahku.
“Tuhan
adalah seniman terbaik, terlebih ketika menciptakanmu. Dan, satu lagi. Dia tak
pernah salah.”
Lalu,
kulihat seulas senyum tipisnya di pantulan cermin. Ia begitu cantik. Aku ikut
tersenyum.
0 Comments:
Post a Comment