Aku menepuk pundak sahabatku lembut,
bertanya padanya apa yang tengah ia perhatikan. Ia menatapku sejenak, lalu
tersenyum penuh arti.
“Mereka bertengkar lagi,” ujarnya
diikuti tawa getir. Aku membalas tatapnya tidak mengerti. Bukan tawa geli atau
tawa kecil yang diberikannya, namun tawa getir, mendekati hambar.
“Siapa?” tanyaku pelan. Sahabatku
memberi isyarat padaku dengan sudut matanya. Aku mengikuti arah matanya yang
berhenti tepat di dua bangku belakang. Seorang perempuan dan laki-laki.
Setahuku, mereka bersahabat baik. Dan, benar kata sahabatku, mereka sering kali
bertengkar. Mendebat hal kecil, berujung hal yang tidak pasti. Tak ada yang
ingin mengalah, namun pada akhirnya mereka kembali bermain bersama.
“Mereka saling mencintai. Si
perempuannya mencintai dengan cara meminta si lelaki untuk mencintai perempuan
lain yang si lelaki tengah incar. Sedangkan si lelaki sesungguhnya pura-pura
mencintai dan mengincar perempuan lain untuk mendapat reaksi dan perhatian dari
si perempuan,” celetuk sahabatku itu dengan suara parau. Aku terkejut,
meliriknya cepat.
“Maksudmu?” tanyaku kaget. Mungkin itu
pertanyaan terbodoh yang pernah kuajukan. Aku hanya tengah meredam hati yang
tiba-tiba berkecamuk.
“Kau tahu, Ver. Mereka mencintai dengan
cara yang salah. Ada yang bilang seperti ini; if you love someone, don’t flirt with the opposite sex, don’t create
misunderstanding,” sahut sahabatku itu lagi, lalu ia hendak berlalu.
Sebelum ia benar-benar pergi, aku menahan lengannya. Ia hanya tersenyum kecil.
Lagi-lagi senyum getir, hambar, penuh arti. Hanya kombinasi yang kubaca sebagai
satu; luka. Apa mungkin, yang terluka tidak hanya kedua orang yang tengah kita
bicarakan tadi? Ataukah kita berdua juga terluka? Menyimpan rasa diam-diam, tak
terucap. Lantas, siapa yang mencintai dengan cara yang salah?
“Tak perlu khawatir. Bukankah kita tahu
dan yakin? What's meant to be, will always find its way. Cinta selalu punya jalan dan caranya sendiri untuk pulang. Love will find a way.”
0 Comments:
Post a Comment