Lagi-lagi, aku menyapa pertengahan malam
dalam kubang kesendirian. Kali ini tanpa cangkir apapun; kopi ataukah cokelat
panas yang sering kau tawarkan padaku sebagai pengganti mug besar teh earl grey
yang kuhabiskan di tiap senja. Aku menarik bangku ke depan layar komputer, hanya
menatap layar kertas kosong yang belum juga kutuliskan serangkaian kisah; yang
akhir-akhir ini sering kali kau memaksaku untuk menyelesaikannya. Hingga aku
bertanya sendiri pada kesunyian yang menyeruak dari sudut kamarku; bagaimana
aku mampu mengurai benang cerita ini, ketika aku masih terpaku pada ponsel yang
membisu sepanjang malam di sebelahku. Aku beringsut dari tempatku duduk,
menyibak gorden jendela, berusaha membuka kusen jendela yang kayunya sudah
lapuk di sisinya. Membiarkan udara malam bermain-main di ruang kamarku. Rasanya
dingin menusuk ke dalam tulang.
Lagi-lagi, aku menyapa pertengahan subuh
dalam kubang kesendirian. Kali ini tanpa stasiun radio apapun; lagu-lagu yang
dikicaukan burung hantu yang sering kau jejalkan padaku tiap siang untuk
membunuh kebosanan. Aku bergulung dengan harap yang sudah sampai di tepian,
bertanya padanya bagaimana. Ia hanya menjawab tak pasti. Aku tersenyum letih,
semua harap yang berkaitan dengan kau memang tak pernah pasti. Terlebih kilau
jenaka matamu selalu menawarkan beribu ragu untukku. Aku jadi teringat
perbincangan kita mengenai hari hujan yang dingin. Aku pun merebahkan tubuh,
menarik selimut hingga ke ujung kepala, membenamkan harap dalam mimpi-mimpi.
Lagi-lagi, aku menyapa pertengahan senja
dalam kubang kesendirian. Kali ini benar-benar tanpa siapapun; anak-anak kecil
yang berlarian di seberang kompleks rumah yang sering kali kuamati sebagai
iringan khas senja. Siluet bayang berkali-kali menjadi lukis utama sore hari, menampakkan
sosokmu yang bungkam. Bahkan sebelumnya, aku tak pernah mendengar bisu yang
begitu diam seperti kau. Jadi, masa-masa emas kita layaknya gurat emas di
cakrawala senja hanya mampu bertahan tiga hari sebelum semuanya memudar.
Sepertihalnya gurat emas sore yang memudar, bergerak dan lenyap sebagai gelap
malam.
Aku teringat pertemuan kita di
persimpangan akhir menuju rumahmu, tanpa apapun kecuali dingin yang membeku di
dalam matamu. Aku memanggil namamu berulang kali, tapi kau masih saja
melangkah. Sampai akhirnya kutepuk pundakmu, matamu singgah sejenak. Memberi
jawab yang membuatku terlihat bodoh. Selama ini aku bertingkah gila hanya untuk
mendapat sebongkah hati yang sudah membeku, rasanya dingin.
Aku tidak tahu kapan kau menjelma
menjadi udara dingin di pertengahan malam, menjadi hujan dingin di pertengahan
subuh, dan menjadi kenangan dingin di pertengahan senja. Dan menjadi bayang
dingin di pertengahan hati yang menuju luka.
“Something’s
made your eyes go cold. Stood there and watched you walk away. Something’s gone
terribly wrong. Won’t finish what you started. Don’t leave me like this. I
thought i had you figured out.” – Haunted, Taylor Swift
0 Comments:
Post a Comment