“Tak ada persahabatan yang sempurna,
yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha mempertahankannya.” – Winna
Effendi, Refrain
Sebuah waktu, aku ingat aku begitu yakin
semua berjalan baik-baik saja. Kita masih menukar senyum, melempar pandang mata
dan berbagi cerita. Namun, di sebuah waktu, aku juga ingat aku begitu yakin
jika semua berubah. Kita hanya mendebat perasaan, memenangkan ego masing-masing
dan mengadu bisu.
“Kau bisa menguji seberapa besar
persahabatanmu. Mudah saja, kau pejamkan mata dan ingat-ingat, manakah yang
lebih membuatmu mengalah; pada sebaris kenangan yang terbentang ataukah setitik
seteru yang merusak. Dari sanalah, kau akan mampu mengambil langkah.”
Aku menemukan jawabannya, cerita tentang
kita berdua terlalu berharga untuk ditoreh luka. Maka, waktu berjalan cepat,
secepat itulah pikiranku melemparku pada seribu cara untuk mengungkapkan maaf. Aku
hanya takut pada waktu yang menertawaiku tentang keterlambatan, lalu aku
terseok-seok dalam kubang penyesalan. Namun, aku kalah memerangi diam yang
berakhir bungkam. Kita tak lagi dibingkai oleh kanvas pelangi masa silam, kita
sudah mulai melukis dengan tinta hitam.
Kamu bilang, apapun yang terjadi kita
akan tetap seperti ini; bersama menanam bibit-bibit kisah manis, esoknya akan
berbuah ranum sebagai kenangan terindah untuk dijelajah. Apakah kamu melupakan
semuanya? Segalanya ketika kamu mengatakan janji itu, semuanya akan terus
selalu dan selamanya seperti ini. Tapi, waktu terus berlalu. Dan, kau membiarkan
hujan tetap turun. Semuanya tampak salah, kita hanya mampu menimbang, siapa
yang menghentikan perkara dan mulai mengalah. Sedangkan, kita hanya bermuara pada
sejuta rangkai kata yang saling menghujam.
0 Comments:
Post a Comment