Friday, 14 March 2014

Midnight Memories


Sekitar beberapa minggu yang lalu, aku membongkar gudang. Ikut membersihkan barang-barang lama yang sudah tidak terpakai lagi. Lalu, kutemukan sebuah kardus. Berdebu tebal hingga beberapa senti. Isinya sederhana, sepaket buku pelajaran sekolah dasar dan menengah pertama milikku yang masih dibundel tali rafia. Di sela-sela ikatan tali rafia itu, terjatuh sebuah album foto kenangan, buku tahunan. Aku membolak-baliknya. Terdiam cukup lama.
“Saat kau tengah memberesi barang-barang lama, terkadang kau bukan tengah menatanya ulang. Justru, kau sedang diajak mengembara pada ruang kenangan yang senyap. Dipaksa membuka laci ingatan lalu yang sudah bersarang oleh kecamuk berbagai rasa tak terurai. Duduk dalam diam yang dikurung bisu cukup lama. Lantas, ingatanmu berhasil melapuk bersama waktu silam.”
Malam ini, aku menyelesaikan sebuah buku. Dimana penulisnya menceritakan kisah masa mudanya dulu dengan segala pernak-pernik cintanya, tidak berakhir dengan konsep happily ever after. Justru, si penulis dihadapkan pada ruang kenang yang paling senyap, membuat siapapun tenggelam dan ikut lesap dalam kisah nyata yang dialaminya. Si penulis memandangi selembar foto resepsi pernikahan seseorang yang dicintainya selama delapan tahun, lalu mengingat bagaimana belasan tahun silam ia mengejar perempuan itu lewat sebuah pertemuan yang jenaka dan tak diduga, namun semuanya kini sudah lenyap sebagai lembar masa dulu. Aku mengatupkan buku itu ketika selesai di lembar terakhir. Terdiam cukup lama.
“Dulu sekali, beberapa tahun dari sekarang, kau pun tak menyangka kita akan bertemu dari sejuta kesempatan yang ada. Malam ini, kau meniti pandang di jalan sunyi yang kau lewati selama tiga tahun ini. Sesak memenuhi dada. Ada kalanya, kau mengenang saat-saat dimana kau mengobrol dengan rembulan, bergurau dengan langit berbintang, atau tersenyum oleh mimpi-mimpi manis. Dan, semuanya pelan-pelan memudar sebagai memori yang tak mampu lagi kau peluk secara nyata. Kecuali berusaha menyembuhkan luka-luka yang mungkin ditinggalkannya.”
Aku mengambil selembar foto lainnya, tertanggal setahun lalu. Aku tersenyum. Foto itu merefleksikan rangkulan hangat yang membuka kisah. Menguntai kata, membentuk cerita. Hanya mampu menjelajahi apa yang lalu dan berandai-andai terhadap apa yang akan datang. Sejenak, aku tertawa pada jalan lenggang depan kompleks rumah. Aku selalu membayangkan berdiri di balik jendela besar sebuah apartemen sambil menghabiskan bercangkir-cangkir teh earl grey. Mengamati lalu lintas kendaraan kota dengan keremangan lampu oranye kota. Temaram lampu kota membawaku pada cerita sahabat jauhku yang mengatakan hidupnya berubah sejak menginjak bangku kuliah, ia lebih banyak melewati waktu di kafe dan mengobrolkan banyak tentang tentang mata kuliah atau hal kecil di sekeliling. Lalu, ia berbisik, walau aku tak ingin berubah, perlahan keadaan akan memaksaku berubah. Aku terhenyak.
Tiga tahun dari sekarang. Ada seorang anak perempuan berbingkai kaca mata berwarna neon terang, tidak tahu jika seorang lelaki di belakangnya, seorang perempuan yang duduk di sudut dekat jendela, seorang lelaki yang duduk di bangku paling belakang serta dua orang perempuan berbeda kelas, telah digariskan olehNya untuk menemani anak perempuan itu melewati masa-masa remajanya yang berharga.
Terkadang aku takut untuk bangun pada suatu hari dan tidak ingat waktu apa saja yang sudah lewat dari benakku. Sekali lagi, ini tentang setangkup memori yang terus menggelisahkan.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment