Sekitar beberapa minggu yang lalu, aku
membongkar gudang. Ikut membersihkan barang-barang lama yang sudah tidak
terpakai lagi. Lalu, kutemukan sebuah kardus. Berdebu tebal hingga beberapa
senti. Isinya sederhana, sepaket buku pelajaran sekolah dasar dan menengah
pertama milikku yang masih dibundel tali rafia. Di sela-sela ikatan tali rafia
itu, terjatuh sebuah album foto kenangan, buku tahunan. Aku membolak-baliknya.
Terdiam cukup lama.
“Saat
kau tengah memberesi barang-barang lama, terkadang kau bukan tengah menatanya
ulang. Justru, kau sedang diajak mengembara pada ruang kenangan yang senyap.
Dipaksa membuka laci ingatan lalu yang sudah bersarang oleh kecamuk berbagai
rasa tak terurai. Duduk dalam diam yang dikurung bisu cukup lama. Lantas,
ingatanmu berhasil melapuk bersama waktu silam.”
Malam ini, aku menyelesaikan sebuah
buku. Dimana penulisnya menceritakan kisah masa mudanya dulu dengan segala
pernak-pernik cintanya, tidak berakhir dengan konsep happily ever after. Justru, si penulis dihadapkan pada ruang kenang
yang paling senyap, membuat siapapun tenggelam dan ikut lesap dalam kisah nyata
yang dialaminya. Si penulis memandangi selembar foto resepsi pernikahan
seseorang yang dicintainya selama delapan tahun, lalu mengingat bagaimana
belasan tahun silam ia mengejar perempuan itu lewat sebuah pertemuan yang
jenaka dan tak diduga, namun semuanya kini sudah lenyap sebagai lembar masa
dulu. Aku mengatupkan buku itu ketika selesai di lembar terakhir. Terdiam cukup
lama.
“Dulu
sekali, beberapa tahun dari sekarang, kau pun tak menyangka kita akan bertemu
dari sejuta kesempatan yang ada. Malam ini, kau meniti pandang di jalan sunyi
yang kau lewati selama tiga tahun ini. Sesak memenuhi dada. Ada kalanya, kau
mengenang saat-saat dimana kau mengobrol dengan rembulan, bergurau dengan
langit berbintang, atau tersenyum oleh mimpi-mimpi manis. Dan, semuanya
pelan-pelan memudar sebagai memori yang tak mampu lagi kau peluk secara nyata.
Kecuali berusaha menyembuhkan luka-luka yang mungkin ditinggalkannya.”
Aku mengambil selembar foto lainnya, tertanggal
setahun lalu. Aku tersenyum. Foto itu merefleksikan rangkulan hangat yang
membuka kisah. Menguntai kata, membentuk cerita. Hanya mampu menjelajahi apa
yang lalu dan berandai-andai terhadap apa yang akan datang. Sejenak, aku
tertawa pada jalan lenggang depan kompleks rumah. Aku selalu membayangkan
berdiri di balik jendela besar sebuah apartemen sambil menghabiskan
bercangkir-cangkir teh earl grey. Mengamati lalu lintas kendaraan kota dengan
keremangan lampu oranye kota. Temaram lampu kota membawaku pada cerita sahabat
jauhku yang mengatakan hidupnya berubah sejak menginjak bangku kuliah, ia lebih
banyak melewati waktu di kafe dan mengobrolkan banyak tentang tentang mata
kuliah atau hal kecil di sekeliling. Lalu, ia berbisik, walau aku tak ingin
berubah, perlahan keadaan akan memaksaku berubah. Aku terhenyak.
Tiga
tahun dari sekarang. Ada seorang anak perempuan berbingkai kaca mata berwarna
neon terang, tidak tahu jika seorang lelaki di belakangnya, seorang perempuan
yang duduk di sudut dekat jendela, seorang lelaki yang duduk di bangku paling
belakang serta dua orang perempuan berbeda kelas, telah digariskan olehNya
untuk menemani anak perempuan itu melewati masa-masa remajanya yang berharga.
Terkadang aku takut untuk bangun pada
suatu hari dan tidak ingat waktu apa saja yang sudah lewat dari benakku. Sekali
lagi, ini tentang setangkup memori yang terus menggelisahkan.
0 Comments:
Post a Comment