Aku tak pernah merasa seberisik ini
dikurung bisu. Embus angin sore melewati kaca jendela yang tidak tertutup.
Sekaligus menari-nari menyinggahi jalan sunyi di sepanjang kompleks perumahan
yang berdiri bisu. Mahkota senja sudah merangkak ke singgasananya, perlahan. Diam-diam,
aku diringkus oleh buasnya terkam akan geliat waktu lampau. Kulihat siluetmu di
persimpangan sana, mencumbui udara, lantas membujuknya untuk menyampaikan bisik
padaku; hati-hati.
Ini
pukul dua pagi, kulihat kau masih bergurau dengan ragu?
Kau bilang, di antara diamnya percakapan
malam; kau takkan membiarkanku dilumat oleh kesendirian. Lalu, kau menemaniku,
bercengrama hingga pertengahan malam di bawah kubah berbintang. Membunuh apa
yang kau benci; persetubuhan antara kenangan dan kesunyian tak berkesudahan.
Sedangkan aku, hanya mencari-cari obrol untuk menepis kebosanan. Kau tahu? Kita
terlalu banyak bermain.
Ini
pukul dua pagi, kurasakan kau masih berusaha menimbang?
Apa yang sudah kita tukar
kemarin-kemarin lalu? Potret senja di penghujung perumahan dengan siluet gelap
pepopohan. Kehangatan yang merayap di atas punggung tangan yang menyentuh
permukaan kaca dingin di hari yang hujan. Tatap mata yang menyusun kembali
puing-puing luka, membuka lembar-lembar kisah dan kenangan yang menebal. Satu
lagi, kau jentikkan jarimu tepat di antara kedua manik mataku yang berusaha
lepas dari paku matamu. Kau bilang, “kita menukar hati.” Ah, hati yang seperti
apa? Sekilas rasa? Segumpal cerita akan tempat singgah setelah lama berlari
ditikung lalu-lalu? Ataukah benar-benar sebongkah hati – yang sudah lebam oleh
ranumnya buah kenangan? Jangan memasung jiwa kita malam ini oleh rantai cerita
dulu yang tak pernah kau biarkan berlalu.
Ini pukul dua pagi, kudapati kau tahu akan
sesuatu?
Bisa kukatakan pada mereka; kau penyuka burung
hantu. Kau berkulitkan salju. Kau memiliki sepasang mata dengan tatap lautan yang
menenggelamkan, yang sering kali tak bisa kuselami. Kau paling sering
meributkan model rambut, bersikap konyol ketika bingung – kerap kali kau
memainkan bola mata dengan melemparnya ke atas langit. Kau bertingkah layaknya
kanak-kanak, berbicara lewat gambar-gambar di tembok dan menyampaikan pesan
pada gores ilustrasi di helai kertas – yang tak mampu kumengerti. Dan lagi, sebelum
tubuh ini ditelusup sesak dan menggelepar di atas tubuh kenangan, satu lagi. Kau
mencintai dia - seorang gadis bermata apel dari pekarangan masa lalu, begitu
kau rawat, kau jaga. Kini telah tumbuh menjadi taman indah yang membuatmu tak
berpaling, namun kau tak tahu, ia juga berduri – kau, aku; kita dipasung
kenangan pukul dua pagi. Mendebat, tanpa pasti. Hanya menjejaki rasa di hati
yang sering kali justru tak bisa dikenali, apalagi dijelajahi.
Mari bersama, kita mati. Di tubuh subuh,
pukul dua pagi.
0 Comments:
Post a Comment