Sunday, 30 March 2014

Dipasung Kenangan Pukul Dua Pagi

Ini pukul dua pagi, kudengar kau masih ingin bertaruh?
Aku tak pernah merasa seberisik ini dikurung bisu. Embus angin sore melewati kaca jendela yang tidak tertutup. Sekaligus menari-nari menyinggahi jalan sunyi di sepanjang kompleks perumahan yang berdiri bisu. Mahkota senja sudah merangkak ke singgasananya, perlahan. Diam-diam, aku diringkus oleh buasnya terkam akan geliat waktu lampau. Kulihat siluetmu di persimpangan sana, mencumbui udara, lantas membujuknya untuk menyampaikan bisik padaku; hati-hati.
Ini pukul dua pagi, kulihat kau masih bergurau dengan ragu?
Kau bilang, di antara diamnya percakapan malam; kau takkan membiarkanku dilumat oleh kesendirian. Lalu, kau menemaniku, bercengrama hingga pertengahan malam di bawah kubah berbintang. Membunuh apa yang kau benci; persetubuhan antara kenangan dan kesunyian tak berkesudahan. Sedangkan aku, hanya mencari-cari obrol untuk menepis kebosanan. Kau tahu? Kita terlalu banyak bermain.
Ini pukul dua pagi, kurasakan kau masih berusaha menimbang?
Apa yang sudah kita tukar kemarin-kemarin lalu? Potret senja di penghujung perumahan dengan siluet gelap pepopohan. Kehangatan yang merayap di atas punggung tangan yang menyentuh permukaan kaca dingin di hari yang hujan. Tatap mata yang menyusun kembali puing-puing luka, membuka lembar-lembar kisah dan kenangan yang menebal. Satu lagi, kau jentikkan jarimu tepat di antara kedua manik mataku yang berusaha lepas dari paku matamu. Kau bilang, “kita menukar hati.” Ah, hati yang seperti apa? Sekilas rasa? Segumpal cerita akan tempat singgah setelah lama berlari ditikung lalu-lalu? Ataukah benar-benar sebongkah hati – yang sudah lebam oleh ranumnya buah kenangan? Jangan memasung jiwa kita malam ini oleh rantai cerita dulu yang tak pernah kau biarkan berlalu.
 Ini pukul dua pagi, kudapati kau tahu akan sesuatu?
Bisa kukatakan pada mereka; kau penyuka burung hantu. Kau berkulitkan salju. Kau memiliki sepasang mata dengan tatap lautan yang menenggelamkan, yang sering kali tak bisa kuselami. Kau paling sering meributkan model rambut, bersikap konyol ketika bingung – kerap kali kau memainkan bola mata dengan melemparnya ke atas langit. Kau bertingkah layaknya kanak-kanak, berbicara lewat gambar-gambar di tembok dan menyampaikan pesan pada gores ilustrasi di helai kertas – yang tak mampu kumengerti. Dan lagi, sebelum tubuh ini ditelusup sesak dan menggelepar di atas tubuh kenangan, satu lagi. Kau mencintai dia - seorang gadis bermata apel dari pekarangan masa lalu, begitu kau rawat, kau jaga. Kini telah tumbuh menjadi taman indah yang membuatmu tak berpaling, namun kau tak tahu, ia juga berduri – kau, aku; kita dipasung kenangan pukul dua pagi. Mendebat, tanpa pasti. Hanya menjejaki rasa di hati yang sering kali justru tak bisa dikenali, apalagi dijelajahi.
Mari bersama, kita mati. Di tubuh subuh, pukul dua pagi.

0 Comments:

Post a Comment