Wednesday, 12 February 2014

Yang Mungkin Terlupa



Pertama kali mengenalnya, tiga tahun lalu. Saat itu, ia masuk ke dalam ruang kelas yang riuh. Tanpa memperkenalkan diri, ia membiarkanku memaku diri pada angka-angka aritmetik dan geometri. Aku tidak terlalu mengenalnya. Ini tentang seseorang, tak harus bagian dari belah jiwa. Maka, salah jika mengira ini sebuah kisah cinta.

Ia singgah hanya satu hari itu di ruang kelasku, karena ia hanyalah guru pengganti dari salah satu guru yang absen hari itu. Aku tidak diajar olehnya. Saat itu, mungkin terlintas di ruang pikirku, tak mungkin aku akan merajut kenangan dengannya. Tapi, tidak. Justru, darinya, aku belajar lebih dari sekedar menyelesaikan persoalan angka-angka.
Suatu waktu, aku bertanya, mengapa ia tak pernah mengikuti perkembangan berita. Tidak menonton televisi atau meluangkan waktu sekedar membaca koran. Aku tak tahu jika dari pertanyaan sederhana itu, aku akan diajak mengembara pada kisah lainnya; tentangnya. Sepulang mengajar dari sekolah, ia harus segera pergi menuju tempat les. Bahkan, saat weekend sekalipun. Ia mengajar kelas umum maupun privat. Waktunya banyak tersita. Sebab, tentu. Ia tak mungkin menghidupi keluarga dan adik-adiknya hanya berbekal profesi guru di sekolah. Ia pulang ke rumah sekitar pukul sembilan malam. Terkadang pukul sepuluh. Lalu, terlelap. Dan baru kembali ke sekolah pukul delapan – lebih siang di antara yang lainnya. Ia lelah, siapapun tahu itu. Tapi, aku melihat senyum itu terus ada. Menularkan keramahan dan canda yang mampu membuat siapapun itu tertawa bersamanya. Semenjak itu, matematika tak lagi semenakutkan itu.
Di tengah – jika kubisa katakan, keadaan yang mungkin mencekiknya, ia masih memikirkan kami. Memerhatikan anak-anak yang duduk di kelas dengan seluruh kenakalannya. Membawa buku-buku yang ia dapat dari tempat les yang ia ajar untuk kami semua. Memfoto-kopinya dengan berbagai cara agar kami tetap bisa memilikinya dengan harga murah. Ia ingin kami lulus. Dan mungkin, itu kebahagiaannya di antara masalah yang ada.
Kau tahu, aku menulis tentangnya dengan sisa air mata yang mengering di atas tuts-tuts keyboard. Entah, akhir-akhir ini aku mengingatnya. Ada bagian dari ruang di benak yang gelisah, meminta untuk menuliskannya.
Kudengar, ia akan segera pergi. Mungkin tidak lagi mengajar. Mencoba peluang profesi lain. Meraih asa yang seharusnya ia dapat dan gapai sejak dulu dengan kecerdasannya. Dan, mungkin setelah lulus nanti. Aku tak lagi melihatnya. Tak lagi menyapanya. Ia dengan bentuk wajah kotaknya, kaca mata hitam yang membingkai kedua matanya serta cara jalannya yang sering kali cepat. Yang mungkin saja, akan terlupa di benak banyak anak.  
Suatu waktu, di suatu masa. Aku akan membuka kembali lembar kenangan itu, mengenangkan sebagai seseorang bukan saja guru. Melainkan seseorang yang pernah menepuk pundakku dan mengatakan jika tak seharusnya aku menyerah. Tentang suatu hal. Lain.
Ya, tentu. Sesederhana itu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment