Pertama kali mengenalnya, tiga tahun
lalu. Saat itu, ia masuk ke dalam ruang kelas yang riuh. Tanpa memperkenalkan
diri, ia membiarkanku memaku diri pada angka-angka aritmetik dan geometri. Aku
tidak terlalu mengenalnya. Ini tentang seseorang, tak harus bagian dari belah
jiwa. Maka, salah jika mengira ini sebuah kisah cinta.
Ia singgah hanya satu hari itu di ruang
kelasku, karena ia hanyalah guru pengganti dari salah satu guru yang absen hari
itu. Aku tidak diajar olehnya. Saat itu, mungkin terlintas di ruang pikirku,
tak mungkin aku akan merajut kenangan dengannya. Tapi, tidak. Justru, darinya,
aku belajar lebih dari sekedar menyelesaikan persoalan angka-angka.
Suatu waktu, aku bertanya, mengapa ia
tak pernah mengikuti perkembangan berita. Tidak menonton televisi atau
meluangkan waktu sekedar membaca koran. Aku tak tahu jika dari pertanyaan
sederhana itu, aku akan diajak mengembara pada kisah lainnya; tentangnya. Sepulang mengajar
dari sekolah, ia harus segera pergi menuju tempat les. Bahkan, saat weekend
sekalipun. Ia mengajar kelas umum maupun privat. Waktunya banyak tersita.
Sebab, tentu. Ia tak mungkin menghidupi keluarga dan adik-adiknya hanya
berbekal profesi guru di sekolah. Ia pulang ke rumah sekitar pukul sembilan
malam. Terkadang pukul sepuluh. Lalu, terlelap. Dan baru kembali ke sekolah
pukul delapan – lebih siang di antara yang lainnya. Ia lelah, siapapun tahu
itu. Tapi, aku melihat senyum itu terus ada. Menularkan keramahan dan canda
yang mampu membuat siapapun itu tertawa bersamanya. Semenjak itu, matematika
tak lagi semenakutkan itu.
Di tengah – jika kubisa katakan, keadaan
yang mungkin mencekiknya, ia masih memikirkan kami. Memerhatikan anak-anak yang
duduk di kelas dengan seluruh kenakalannya. Membawa buku-buku yang ia dapat
dari tempat les yang ia ajar untuk kami semua. Memfoto-kopinya dengan berbagai
cara agar kami tetap bisa memilikinya dengan harga murah. Ia ingin kami lulus.
Dan mungkin, itu kebahagiaannya di antara masalah yang ada.
Kau tahu, aku menulis tentangnya dengan
sisa air mata yang mengering di atas tuts-tuts keyboard. Entah, akhir-akhir ini
aku mengingatnya. Ada bagian dari ruang di benak yang gelisah, meminta untuk
menuliskannya.
Kudengar, ia akan segera pergi. Mungkin
tidak lagi mengajar. Mencoba peluang profesi lain. Meraih asa yang seharusnya
ia dapat dan gapai sejak dulu dengan kecerdasannya. Dan, mungkin setelah lulus
nanti. Aku tak lagi melihatnya. Tak lagi menyapanya. Ia dengan bentuk wajah
kotaknya, kaca mata hitam yang membingkai kedua matanya serta cara jalannya
yang sering kali cepat. Yang mungkin saja, akan terlupa di benak banyak anak.
Suatu waktu, di suatu masa. Aku akan
membuka kembali lembar kenangan itu, mengenangkan sebagai seseorang bukan saja
guru. Melainkan seseorang yang pernah menepuk pundakku dan mengatakan jika tak
seharusnya aku menyerah. Tentang suatu hal. Lain.
Ya, tentu. Sesederhana itu.
0 Comments:
Post a Comment