Monday, 17 February 2014

Fate


Aku berandai, jikalau kita adalah tokoh rekaan dalam sebuah buku. Pastilah kita bertemu di halaman yang paling awal. Lewat pertemuan-pertemuan manis yang akan kita ingat di malam sebelum tidur. Yang akan melukiskan seulas senyum di bibir kita. Yang akan membingkai kedua manik mata kita dengan secercah binar. Maka itu, di sinilah, akan kuceritakan pertemuan kita.
Tak ada yang pernah bisa melihat bagaimana Tuhan tengah menulis skenario kisah tentang kita. Kita disatukan dalam sebuah ruang kelas berukuran sedang. Kita dipertemukan sehabis perpisahan singkat setelah penjurusan. Duduk berdekatan tanpa tahu jika itu adalah bagian dari plot cerita yang telah direncanakan Tuhan. Tak ada satu pun di antara kita yang mengira – jika kita akan saling mengikat. Di saat suka. Ataupun, duka.
Lalu, mulai tumbuh cinta di antara kita. Kita mulai saling membutuhkan. Saling memahami jika mungkin saja, hari-hari tak akan lagi sama untuk dilewati tanpa adanya kita semua. Lantas, serangkaian kenangan paling indah yang mampu membuat kita menangis ketika membukanya lagi, mulai kita untai setiap detiknya.  
“Mungkin, kita tidak akan mampu menyelesaikan masalahmu. Tapi, kita tidak akan membiarkanmu melewatinya sendirian.” 
Kau tahu. Kita menjaga keping-keping memori yang tersebar di jarum waktu, perlahan menyusunnya menjadi satu pigura utuh yang menggambarkan persahabatan terindah yang pernah ada.
Dan, di tubuh malam, aku menangis. Aku menuatkan jari jemari kita bersama, memejamkan mata. Beberapa di antara kita, tetap membuka mata, melempar pandang kosong pada jalan lenggan di komplek perumahan yang sunyi. Lalu, kubisikkan janji yang kuharap mampu memenggal jarak dan menebas waktu.  
“Apapun yang terjadi, kita masih bersama seperti ini bukan? Whatever happens here, we still remain, aren’t we?”  
Kita semua mengangguk bisu. Lalu perlahan, dikoyak sunyi. Dimakan kenangan. Dan, didiamkan rindu. 
- Ini tentang kita berenam, kawan. Desy, Dewi, Mila, Richard, Richky.

0 Comments:

Post a Comment