Mari kita mengira-ngira. Sekitar setahun
silam, kembali pada Maret tahun lalu. Detik-detik ketika aku harus berteman
dengan selang infus dan obat-obatan. Terbaring di rumah sakit selama seminggu
penuh, mendapati pola makan yang lebih teratur dengan menu yang mengerikan –
muntah berkali-kali karena rasanya tubuh ini lebih banyak dicekoki obat
dibanding makanan. Semuanya terasa sedikit membaik ketika dokter mengatakan aku
bisa pulang. Malam itu, di balik jendela kaca mobil, aku menatap lampu-lampu
kota, aku merasa hidup. Masuk ke sekolah, menyapa teman, mengejar
ketertinggalan pelajaran dan menikmati makanan kantin seperti biasa. Tapi,
tentu saja, selalu ada perlakuan yang berbeda ketika kamu baru saja pulang dari
rumah sakit. Kamu akan terasa dimanjakan seminggu awal. Diminta tidak berpikir
terlalu keras, toleransi pada jam olahraga, tidak mengikuti ekskul sehabis
pulang sekolah dan lainnya. Hampir semua orang menceramahiku mengenai satu kata
‘istirahat’.
Mari kita menebak-nebak. Lalu, tebakan
itu benar. Itu berarti, tak ada lagi duduk berjam-jam di depan komputer.
Menghitung tanggal di kalender sebelum deadline. Menyeduh secangkir teh vanilla
hangat di kala tengah malam. Menyeleksi naskah kiriman yang masuk di meja
redaksi sekolah. Membidik lomba-lomba kepenulisan. Melanjutkan proyek menulis
baru. Dan lainnya. Lainnya. Semuanya seolah lenyap. Lesap. Terkemas dalam satu
kata ‘istirahat’. Hampir semua orang menyerukan hal itu. Hampir. Karena ada
seseorang yang tidak.
Setiap
orang akan menjadi sejarah bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya. Orang lain,
siapapun itu, akan menempati –setidaknya, satu bab dalam sejarah hidupmu atau
orang lainnya.
Mungkin beliau tidak akan pernah membaca
tulisan singkat ini - yang tanpa ia sadar atau tidak, aku tengah
mengisahkannya. Ia membiarkan aku menerima tugas-tugas kepengurusan majalah
sekolah. Memimpin rapat. Menggali ide-ide baru untuk edisi selanjutnya. Di
tengah cibiran orang-orang di sekitarnya yang mengizinkan aku tenggelam dalam
kesibukkan setelah sakit keras. Aku tersenyum. Di koridor sekolah yang gelap oleh pantulan bayangan itu, beliau
hanya diam. Ada senyum kecil tersungging di bibirnya. Wajahnya yang ramah
dengan jilbab kelabu yang membingkai kepalanya, terasa begitu teduh di manik
mataku. Kami saling bertatapan. Ia tahu, aku akan lebih sakit ketika tidak
menulis. Aku tidak benar-benar sembuh jika tidak menulis. Maka, lewat tulisan
ini, ada selip terima kasih dan sebuncah rasa rindu yang sangat untuknya.
Guruku, apa kabarmu? Aku di sini,
bergelung dengan rasa rindu yang terus memutar kisah silam kita. Bagaimana
membuat kenangan luput dari perasaan sebongkah hati? Mari melipat jarak,
memulai rapat rutin kita, lagi.
0 Comments:
Post a Comment