Ini rekor – jika bisa kusebut rekor. Aku tidak sekalipun lagi menulis bagaimana indahnya siluet bayangmu memantul di dinding bangunan kota karena berkas cahaya purnama. Lalu, tentang hangatnya kenangan tentangmu di dinginnya malam natal. Atau mengenai namamu yang berulang menggema di ruang kalbu. Namun, semua itu tak lagi membuat segalanya bergetar seperti dulu. Seperti dulu ketika aku mendapati teduh manik matamu pertama kalinya.“You’re like the person i read the saddest book with.” – Seo Mi Do, When A Man Falls In Love
Ini rekor – jika dapat kukatakan rekor.
Semuanya berawal di sebuah parade tahunan, pesta kembang api sederhana
dikelilingi asap daging panggang. Kamu ikut didalamnya, hanya sebuah pesta
kecil kurang dari belasan orang. Dalam sebuah kamar minimalis, tanpa kamu harus
menjelaskan. Aku tahu, kamu memimpikan sosoknya. Atau tepatnya, kalian saling
bermimpi satu sama lain. Kemudian, foto bersama untuk sebuah kenangan abadi
sepanjang tahun baru. Memulai permainan arsitektur milik anak kecil, yang kamu –
dan dia, jadikan simbolis daun hati kalian berdua.
Ini rekor – jika mampu kubilang rekor.
Dan, kamu tidak mengatakan satu komentar apapun. Kamu memilih diam dan
menganggap semuanya aneh, yang berarti keren. Sedang aku di sini, mati
perlahan. Menyaksikan bagaimana kamu dengannya menyatukan bayangan yang bisa
kulihat jelas di potret lensa kamera. Terlebih, saat sahabatku mulai mengatakan
kamu mencapai puncak prestasimu. Yeah,
well. Secara akademik dan kisah kasihmu, kamu berhasil. Tapi, satu yang
tidak. Ketika kamu mengira, aku sama dengan deretan gadis yang mengantri untuk
menumpukkan surat cintanya di kolong meja belajarmu. Aku terkesan marah, tapi,
aku hanya tak ingin berakhir sebagai secarik kertas cinta tak terbaca. Menyedihkan.
Teronggok bisu, menunggu hujan paling dingin menyeretnya pergi. Begitu saja.
Ini rekor – ya, aku mengatakannya
demikian. Ini Januari berhujan. Januari yang basah. Tidak ada yang salah. Tidak
ada juga yang menang atau kalah. Aku hanya tak lagi bisa berkilah, jika ini
semua usai sudah. Aku menyerah. Lelah harus terus terjerat pada hati yang
gelisah. Dan terjebak akan rindu yang resah. Lagipula, tak ada ritual tangis
menangis yang megah, hingga aku harus meminjam pundak sahabatku demi melempar
keluh kesah. Aku hanya menyadari satu hal, mengapa tidak sejak awal kuakhiri
kisah. Tepat saat kamu mengikrarkan janji yang sesungguhnya, menyiratkan pisah.
Sekali lagi, harus kukatakan ini. Kamu
seperti orang yang ada dalam buku sedih yang telah kubaca.
“It must be time to move on now, without the fear how it might end.” – Lady Antebellum, Ready To Love Again
0 Comments:
Post a Comment