Senja sehabis hujan. Aku terbangun
dari mimpi-mimpi, ketika hujan masih menyisakan beberapa gumpal awan yang
menggelayut manja di cakrawala, dan senja tak mau kalah. Ada gores jingga yang tertinggal
dan menggurat di langit. Aku tidak terlalu menyukai ini; langit yang menguning.
Sebelum aku menutup gorden jendela, aku melempar pandang ke arah jalan berbatu
keras nan dingin yang basah oleh hujan. Rasanya aku melihatnya – sebuah bayang
yang nyata. Aku menemukannya meninggalkan tatap mata yang lebih dalam dibanding
jarak yang ada.
Aku memejamkan mata, menutup gorden
dengan cepat. Menggeleng kepalaku dengan cepat; berusaha mengaburkan
siluet-siluet yang mulai memenuhi ruang kalbu. Kuraih secangkir teh yang
mendingin oleh atmosfer hujan, kuteguk perlahan. Sepertinya aku merasakannya –
selukis senyum di bibirnya yang nyata. Aku mendapatkannya melempar lengkung
senyum bisu yang lebih diam dibanding sunyi.
Kuletakkan cangkir teh itu di tepi
meja, membiarkannya teronggok diam dan meninggalkannya. Kubiarkan langkah
membawaku ke ruang kamar, mengurung diri – berharap bisa memenjarakan ingatan
dan kalbu dari jerat bayang silam. Lantunan lagu dari radio hitam tua favoritku
masih menyala, melantunkan lagu-lagu lawas. Mengajak pikiran mengembara pada
waktu-waktu lalu, menggelisahkan kenangan dan berkubang pada harapan-harapan.
Rasanya dan sepertinya, aku mengingatnya – sesosoknya yang sempurna mengoyak
dan mengacak ruang hati yang telah terluka. Aku menangkapnya berjalan, duduk,
berbicara, berinteraksi, bercanda, belajar dengannya. Dengannya. Dengan dia.
Aku mematikan radio. Menjatuhkan
tubuh ke atas kasur, membenamkan wajah. Menahan diri agar tidak tenggelam
terlalu jauh. Akhirnya, aku terlelap. Memimpikannya dalam sebuah mimpi sore
sehabis hujan, bersama secangkir teh hangat yang belum dingin oleh hujan. Aku
merindukan tatap mata teduhnya – yang kini terganti oleh tatap sedalam jarak
yang mencipta jurang pisah. Aku merindukan senyum hangat dan ramahnya – yang kini
terganti oleh senyum dingin. Aku merindukannya – yang kini terganti oleh dia
yang menebas segala harap yang ada.
Senja sehabis hujan. Aku terbangun
dari mimpi-mimpi, ketika hujan sudah mereda. Senja juga telah mengalah.
Membiarkan gelap menduduki singgasananya- langit malam. Hujan pun reda. Senja lenyap.
Malam datang, mengakhiri segala awal. Seharusnya, aku pun mengucap selamat
tinggal.
"I choose fade away."
0 Comments:
Post a Comment