Aku mengacak-acak tas punggung berwarna
ungu milikku. Mencari sebungkus tisu yang selalu kubawa, berusaha menyeka tetes
peluh yang terus menetes di pelipis kepalaku. Siang yang terik itu, aku tengah
terjebak di bawah panas matahari di antara kerumunan orang. Tiap detik berjalan,
dan sesering itulah, aku terus menggerutu selama perjalanan pulang. Angkutan
umum memberhentikanku di persimpangan jalan, aku harus turun dan menyeberang.
Rasanya hampir mustahil bisa menyeberang dengan cepat, melihat jalan raya lancar
dengan lalu lalang kendaraan berkecepatan tinggi. Aku melirik jam tanganku
terus menerus, celetuk-celetuk kesal mulai menyesaki benakku. Sampai bintang
keajaiban kecil itu terjadi.
Salah satu pengendara mobil berwarna
silver tiba-tiba berhenti, dari gerak tangannya, ia mempersilahkanku untuk
berjalan menyeberang jalan terlebih dulu. Bapak pengendara mobil itu melempar
senyum padaku, aku membalasnya dengan senyum kecil dan membungkuk sedikit. Lalu
menyeberang cepat.
Setelah itu, aku mulai mendumel lagi
dalam hati, panas matahari terasa semakin menyengat. Mencekik kerongkonganku
yang mulai meminta air. Aku menghentikan langkah di sebuah mini market, membli
sebotol teh. Saat membayar di kasir, harga yang tertera adalah sekitar sepuluh
ribu dua ratus. Aku harus bersusah payah mencari koin dua ratus perak di
dompetku. Sampai bintang’keajaiban kecil itu terjadi.
Kakak kasir mengatakan jika ia
menggenapi bayaranku hanya sepuluh ribu saja. Aku masih ingat; “Tidak usah,
Dek. Sepuluh ribu saja,” ujarnya menampakkan senyum ramah. Aku diam dan
menerima bungkus belanjaan. Melangkah pergi dari mini market, memutar botol teh
dan meneguknya cepat.
Sebentar lagi aku akan sampai pada
rumah. Hanya perlu melewati satu komplek perumahan lagi saja. Aku berjalan
santai, berusaha memperbaiki mood-ku hari ini. Sampai bintang keajaiban kecil
lainnya terjadi.
Tanpa kutahu bagaimana, tiba-tiba
seorang anak kecil perempuan kira-kira dibawah umur enam tahun, berjalan dengan
lucunya dan menabrakku. Seorang nenek memeganginya dan tersenyum padaku,
memanggilku Kakak. Senyum nenek itu begitu hangat. Menyentuh langsung siapapun
yang melihatnya. Membuatmu tak mempunyai pilihan lain kecuali satu; ikut
tersenyum. Sesaat, aku tersenyum. Aku merasa begitu lega dan lepas. Langkahku
begitu ringan sebelum akhirnya sampai rumah dengan selamat.
Aku baru menyadari, Tuhan tengah
berusaha membuatku tersenyum hari itu. Karena sedari pagi, aku mengawali hari
dengan buruk. Menggerutu, kesal, mendumel, dan banyak celetuk-celetuk
menyebalkan lainnya. Tuhan sedang ‘menurunkan’ tangannya untuk membentuk selengkung
senyum untukku. Lalu, mengapa aku menyebutnya bintang keajaiban? Karena aku
tahu, keajaiban tidak selalu berarti sesuatu hal yang hebat dan kita kira
mustahil, lalu terjadi. Aku belajar, jika keajaiban bukan seperti itu.
Keajaiban adalah ketika kita menghargai hal-hal sederhana dan kecil di sekitar
kita yang ternyata mampu membuat kita tersenyum dan bernafas hingga kini.
Keajaiban layaknya bintang, ia ada banyak di kehidupan kita, hanya saja kita
tidak tahu berapa dan dimana keajaiban itu tersebar.
Sesampaiku di rumah, aku merebahkan diri.
Siap untuk terlelap sejenak sebelum akhirnya menemui bintang-bintang keajaiban
Tuhan lainnya. Selamat Natal.
0 Comments:
Post a Comment