Hari itu, cakrawala menggelap. Mendung
menggelayuti langit. Menyelimuti Bumi dengan kelabu. Aku dengan salah seorang
sahabatku tengah mengobrol dalam mobil. Obrolan panjang tentang seorang adik
kelasku.
“Aku pernah melihatnya mengambil tempat
di antara barisan teman-temannya saat doa pagi, tapi teman-temannya segera
menyingkir dengan tatap jijik padanya. Ia terlihat tidak punya teman. Sekali ia
berada pada satu tempat, semua menjauh. Aku tidak tahu dimana yang salah,” ujar
sahabatku itu, nadanya merendah, ada selip prihatin di antaranya. Aku tahu
siapa yang tengah sahabatku itu bicarakan. Ia adalah salah satu adik kelasku.
Aku mengangguk. Aku pernah melihat kejadian yang sama, adik kelas itu melewati
lorong kakak senior, seketika ia ditahan dan mulai ‘diganggu’. Aku juga pernah
melihatnya duduk di angkot yang sama denganku, salah satu temannya segera
menggeser duduknya sedikit dengan wajah ketus menjauhinya.
“Menurutku, dia orang yang baik, polos
dan lugu. Ia bahkan pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku, padahal ia
tak tahu kapan tanggal ultahku. Ia hanya melihat teman-temanku mengucapkan
selamat padaku, ia pun mengikutinya,” timpal sahabatku itu lagi. Sahabatku tak
tahu, jika saat ia mengatakan hal itu, hatiku mencelos.
Aku tahu, adik kelasku itu – seorang
lelaki tinggi, gendung, bertubuh gempal, pernah tidak naik kelas dua tahun,
berkaca-mata kuno dengan wajah yang jika dibandingkan lelaki-lelaki ramping
bermotor ninja di sekolahku, tak akan ada apa-apanya. Tapi sesungguhnya, di
balik semua kekurangan yang ia punya, aku yakin dan begitu percaya, ia punya
hati yang baik. Tatap matanya yang tidak terlalu fokus, tapi mengadung
kepolosan yang tidak macam-macam. Wajahnya tidak tampan, tapi ia punya
ketampanan hati. Otaknya tidak cemerlang, tapi ia punya hati yang kemilau. Tak
banyak hal yang kutahu tentang dia, kecuali kekurangan dan keburukan fisik yang
terus beredar se-antero sekolah, tapi di sudut tersembunyi dari itu semua, ada
yang menarik darinya.
“Cici, makasih ya waktu itu,” ujar adik
kelasku itu suatu hari padaku, sehabis aku menariknya dari gerombolan kakak kelas lelaki yang memiliki keisengan
untuk ‘mengerjai’-nya.
Pikiranku pun terlempar pada sosok adik
kelasku yang lain, seorang perempuan berambut pendek, tubuhnya yang cukup gemuk
dan tinggi untuk ukuran kelas 1 SMA (bahkan lebih tinggi dan besar daripadaku),
warna kulitnya gelap, wajahnya tidak secantik teman-teman perempuanku yang
bertubuh montok-putih mulus dan lainnya. Adik kelas perempuanku itu punya
cerita lain. Ia dijauhi, di-bully oleh teman sekelasnya, mendesaknya untuk
melangkah ke tiap sudut sekolah sendirian. Pernah suatu waktu aku mendekatinya.
Saat itulah, aku melihat secercah senyum mengembang di bibirnya yang sedikit
merah ranum kehitaman, ia terus bercurhat tentang seseorang yang ia cintai, ia
tertawa kecil – tersenyum lebar. Dengan polos, ia terus bercerita,
cerita-cerita seperti mimpi untuk menjadi Cinderella. Diam-diam, aku merasa
teriris, mereka – kedua adik kelasku itu, butuh seorang teman.
Terlepas dari itu, tak banyak yang memperhatikan
bagaimana adik kelasku itu sering kali berjalan sendiri, jajan ke kantin
sendiri, ia ‘berteman’ dengan kesendirian. Dan, itu begitu menusuk. Sebab, tak
banyak juga yang tahu, bagaimana setiap pagi aku bangun dan menyetel lagu-lagu anti-bullying dari playlist ponselku
untuk menghentikan tiap air mataku yang jatuh - tiap kali mengingat beberapa
tahun silam ketika bullying itu sendiri terjadi padaku, tepatnya ketika SD. Rasanya
begitu menyiksa, ia menjerat hatiku perlahan, mengoyaknya dengan kata-kata
tajam menusuk dan menghantamnya keras dengan bayang-bayang kesendirian.
Terkadang, kita terlalu banyak
mengomentari orang lain hingga lupa ‘mengomentari’ diri sendiri yang terus
berkomentar. Kita terlalu sibuk fokus pada kekurangan orang lain, hingga tidak
menyadari kekurangan kita sendiri yang terus melihat kekurangan orang. Why we gotta be so mean?
"Aku gak pernah bisa bayangin dan gak
tega buat ngelihat seseorang bisa dijauhkan oleh teman-temannya seperti itu.
Pasti begitu menyakitkan dan orang-orang yang menjauhinya itu, takkan pernah
tahu. We will never know, including what will
be happen in the future,” ujar sahabatku dengan meninggalkan senyum penuh
arti. Aku mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan sahabatku itu untuk
mengakhiri obrolan sore yang mendung. Yes, we’ll never know.
Ntah kenapa, kata2nya selalu bisa bikin saya 'diam'
ReplyDelete