Ini malam yang dingin ketika aku
mengawalinya dengan membongkar onggokkan kenangan yang dimulai tiga tahun lalu…
Aku membaca sederetan nama yang
tercantum dalam selembar kertas. Selembar kertas yang tertempel di tembok utama
dinding sekolah, aku menemukan namaku masuk dalam sebuah kelas urutan acak B.
Dengan langkah gontai yang malas, aku melangkah ke lantai tiga, tempat dimana
kelas baru menungguku. Mengambil tempat duduk di tengah- seorang diri. Dari
balik bangkuku, aku bisa melihatnya, duduk di sebelah kanan di depanku. Rambut
hitam lurusnya di kuncir dua, aku tersenyum. Entah, saat itu, seolah ada yang
berbisik padaku; suatu saat nanti aku akan merangkai jutaan kenangan dengannya.
Keesokkan harinya, aku menyapanya, menjadikannya teman. Lusa harinya, aku tahu
dia adalah sahabatku. Hingga detik ini, aku menyadari suatu hal yang lebih penting,
dia adalah bagian dari keping kenanganku.
Duduk di sebelahnya membuatku tahu satu
hal tentangnya; ia suka menggambar. Ia menggambar setiap harinya, kapanpun –
ketika bel istirahat berbunyi, kamu akan menemukan papan tulis putih yang sudah
bersih, akan kembali tercoret oleh gambar-gambarnya. Ia menggambar apa saja,
sampai suatu waktu aku memberinya tulisan-tulisanku. Dan ia mulai membuat ilustrasi
untuk tulisanku pertama kalinya; The Last
Stumble. Namun, dua tahun berlalu, dan aku tak lagi menemukannya duduk di
sampingku.
“Saat
ada yang berkata padaku jika kita akan banyak kehilangan seseorang dalam hidup
kita, karena ia pergi oleh waktu dan jarak. Aku selalu berkata tidak. Setiap
hal berubah karena jarak dan waktu, tapi ia tidak hilang. Ia tidak pergi. Ia
masih ada di sini, di ruang pikir, sudut ingatan dan tepian hati. Walau ia
hanya sepenggal kenangan, terkecil sekalipun.” - terkadang, saat aku menangis dan bergelut
dengan sunyi yang menyiksa, aku mengingatnya. Aku selalu ingin memanggilnya, bercerita
tentang banyak hal yang terjadi ketika ia tak lagi duduk di sebelahku. Banyak
hal yang berganti, tapi aku selalu urung. Melihat tugas dan kesibukkan yang
menenggelamkan waktunya, aku tak pernah ingin mengganggunya. Sampai siang itu
datang.
Hanya pesan singkat, tiga kali. Aku
memanggil nama depannya. Aku tak berharap ia harus datang ke kelasku. Tapi, ia
datang. Mendapatiku kembali menangis seperti tiga tahun silam. Ia datang. Dan
aku merasa ada yang salah, memanggilnya hanya untuk membebaninya dengan
masalah-masalahku, mencarinya di saat aku tak tahu lagi kemana harus singgah.
“Setiap
hal menjadi penting ketika kamu bereaksi terhadapnya. Kamu menangis, itu
menjadi penting.”
- ini kalimat yang kuingat darinya,
sebelum akhirnya ia memelukku sesekali di sela tangis dan ceritaku.
- Bahkan
sampai saat ini, aku masih mengingat bagaimana aku bisa melupakan ulang
tahunnya 21 November lalu. Rasa bersalah itu masih menganga di benakku, maka,
bersama tulisan ini, ada selip ucapan selamat ulang tahun untuknya, selain kata
maaf. Tak ada air mata ketika aku menuliskan ini, karena aku ingat; “Kadonya
gampang, Ver. Kamu berhenti nangis ya!” Dan aku sadar, saat itu – hingga kini, aku
begitu merindukan lembar-lembar kertas yang berisi coretan gambarnya.
Setiap detik, aku hidup dan merasa
hidup karena keping kenangan yang kupunya. Dan mengingat salah satu bagian
kenangan tentangnya seperti mengembara pada saat-saat yang tak pernah kau
bayangkan akan semanis mimpi-mimpimu. Dan seseorang itu, aku memanggilnya Claudie. I called
her Claudie.
" "Claudie, we're just like a star. Maybe we separated by a distance, but we know, we always and still be there and have each other."
Claudie ^_^
ReplyDelete