Aku menghampiri seorang temanku di
sebuah siang terik yang membosankan, kukatakan padanya, siang yang bosan itu
seketika berubah ketika aku bertemu seseorang. Ia tak sengaja berpapasan
denganku ketika kami secara ‘kebetulan’ membuka pintu kelas masing-masing
secara bersamaan. Temanku itu mengernyit, lalu bertanya padaku, apakah aku
percaya ‘kebetulan’?
Kata banyak orang – dan, aku
menyetujuinya, jika setiap pertemuan, baik itu sekecil apapun, sudah ada
skenario yang mengaturnya. Telah ada gores tulisannya; dimana penulisnya adalah
Tuhan. Walau pertemuan sederhana dan singkat yang mungkin kita lupakan, seperti
bertanya alamat pada orang di tepi jalan, menaiki salah satu taksi/ angkutan
umum, memberi sedekah bagi pengemis di trotoar, bertemu pengamen jalanan,
membantu kakek/nenek yang tidak kita kenal untuk menyeberang jalan dan lainnya.
Masihkah kita ingat bagaimana wajah seseorang yang membantu kita menunjukkan
arah jalan untuk alamat yang kita bingung? Masihkah kita terbayang wajah supir,
pengemis, anak jalanan atau siapapun orang asing yang kita temui di jalan dan
hanya singgah sesaat dari banyak detik hidup kita? Semua itu ada campur tangan
dan sentuhan Tuhan di dalamnya. Justru, dari detail-detail sangat kecil nan
simpel yang terlupakan dari ruang pikir kita itulah, Tuhan menyelipkan
kejutan-kejutan.
Aku kembali pada kesadaranku, aku
menggelengkan kepala menjawab tanya temanku itu.
“Karena, bukankah sebuah hubungan yang
begitu akrab, kental dan hangat dimulai dari sesuatu yang sering kita sebut
kebetulan? Namun, sesungguhnya bukan,” kataku kala itu.
Kita sering bilang, kebetulan aku naik angkot itu dan akhirnya bertemu si dia. Tanpa
kita sadari, sesungguhnya tak ada kebetulan ketika kita menaiki angkot itu,
kita memang dan sudah ada skenario agar kita menaiki angkot itu dan memulai
pertemuan dengan siapapun di sana, yang nantinya menjadi bagian besar dari hidup kita.
We called it God Scenario’s.
Temanku itu mengerling padaku sambil
berjalan menlusuri lorong kelas, “Jadi, baiknya kamu berharap dia tak
menganggap sapaan tadi hanya kebetulan belaka. Semoga saja dia menyadari jika
itu sudah skenario Tuhan untuk mempertemukanmu dan dia. Entah untuk menjadi
teman, sahabat atau…” Ucapan temanku menggantung di udara. Temanku hanya
tertawa dan berlari pergi. Aku diam, menatapnya dari jauh, memilikinya menjadi
temanku; itu juga bukan kebetulan. Lalu, bagaimana dengan mencintai seseorang
itu? Ah, aku harap itu sebuah kebetulan.
Nice, aku percaya bahwa setiap kejadian dalam hidup kita itu bukan sekedar kebetulan, semua sudah tergaris dan bisa terjadi juga atas usaha kita untuk mencapainya, bukankah mimpi dan harapan itu bukan kebetulan? Lalu aku tetap mempercayainya, begitupun jatuh hati dan memilikinya dengan cara ku itu bukan kebetulan tapi pilihan
ReplyDelete