“Life changes in the instant. The ordinary instant.” – Joan Didion
Sometimes, people don't change. Their priorities do. |
Ini malam yang dingin. Sedikit pucat
oleh rembulan yang bersinar penuh. Aku duduk di sudut ruang kamar, sedang
tenggelam dengan salah satu buku bacaanku. Rasanya ini malam yang sempurna;
dengan radio tua hitam favoritku yang menyala melantunkan lagu-lagu klasik,
sebuah buku bacaan tebal dan minuman hangat di tengah ruang kamar yang sejuk.
Namun, sesaat semuanya dengan cepat berubah. Ibuku masuk ke dalam kamar, mengambil ponsel hitamnya dan memencet beberapa angka. Beliau tengah menelepon nenek yang kini tinggal jauh di Medan. Seusai perbincangan hangat sekedar melepas rindu, Ibuku melirik sejenak ke arahku. Tatap mata beliau menyiratkan segalanya telah berubah. Dulu, beliau berkumpul menjadi satu keluarga, kini beliau sudah terpisah jauh. Tak lagi sama. Aku mengatupkan buku bacaan yang tengah kubaca. Diam.
Namun, sesaat semuanya dengan cepat berubah. Ibuku masuk ke dalam kamar, mengambil ponsel hitamnya dan memencet beberapa angka. Beliau tengah menelepon nenek yang kini tinggal jauh di Medan. Seusai perbincangan hangat sekedar melepas rindu, Ibuku melirik sejenak ke arahku. Tatap mata beliau menyiratkan segalanya telah berubah. Dulu, beliau berkumpul menjadi satu keluarga, kini beliau sudah terpisah jauh. Tak lagi sama. Aku mengatupkan buku bacaan yang tengah kubaca. Diam.
Pikiranku terlempar pada ruang kelas di
sebuah siang. Kami tengah menonton sebuah video perpisahan angkatan tahun lalu.
Menonton setiap slide potret foto yang bersatu menjadi video mendesakku pada
satu kenyataan; kami pun sebentar lagi akan merangkai puzzle-puzzle pertemuan
menjadi satu keutuhan yang berujung pisah.
Aku tak pernah mampu membayangkan tak akan
ada lagi momen dimana aku mengeluh kapan waktunya pulang, menunggu antrean
makanan favorit di kantin, berkumpul di toilet bersama kawan-kawan saat jam
pelajaran yang membosankan dan merasakan kepanikkan saat ujian lisan. Gelisah
terus bergelayut di ruang hati, ada rasa takut jika semua itu takkan lagi
terulang. Ia hanya akan digeser waktu dan menjadi fragmen-fragmen kenangan. Saat
itu semua terjadi, yang kubutuhkan sesungguhnya bukan sebuah pesta perpisahan –
yang mengemas senyap dalam keramaian, yang membungkus air mata dalam senyum.
Aku hanya butuh seseorang yang menggenggam tanganku erat atau memelukku hangat,
lalu meyakinkanku bahwa segalanya akan tetap sama – walau waktu semakin tua dan
jarak semakin membentang.
“Apa arti temu jika pisah menjadi akhir?”
Salah seorang temanku menyeletuk. Membuatku menyeka setetes air mataku sebelum
ia terjatuh. Aku menoleh padanya, tersenyum hambar.
“Karena tanpa adanya pisah, tak ada pertemuan
yang berharga,” jawabku, senyap. Kami sama-sama diam. Membiarkan lantunan lagu My Happy Ending milik Avril Lavigne yang
menjadi background video itu mengisi senyap yang ada – dan aku selalu berharap kita berujung pada happy ending, pisah tak
melulu tentang sad ending. Jauh pada akhirnya, perubahan sesungguhnya
adalah seni hidup. Seni dalam hidup yang membuat tiap hari setelah pertemuan
pertama menjadi berwarna dan berharga.
Aku kembali pada ruang kamarku, membuka
kembali buku bacaanku. Setidaknya, aku akan punya kenangan. Sebuah kenang yang
nantinya akan merangkai kembali mereka yang berpisah untuk saling merindu dan
kembali bertemu. The art of change, the
colour of life, the power of memories.
0 Comments:
Post a Comment