“Terkadang, hal paling menyakitkan bukan
ketika rasa itu tertolak, tapi saat rasa itu teronggok diam, terperangkap ruang
bisu; tak terkata.”
Pendam itu pelan-pelan menyeretku siang
ini. Memintaku bercermin pada kubang luka berdarah yang menganga dan menggenang
di tepian hati. Sedang rindu, bermukim di antaranya, menunggu hingga ada rasa
yang bertemu. Aku lelah, terjebak pada bayang lalu dan menawarkan bungkus silam
bernama kenangan. Kapan rasa itu akan menepi?
(2)
“Pergi kemanakah kata ketika ia tak
terucapkan?”
Aku selalu takut ketika waktu menulis
skenario yang membuatku sekedar berpapasan denganmu. Karena aku tahu, akan ada
rindu yang tertinggal setelahnya; menghabisiku perlahan. Bermuara pada sakit
yang menyesakkan dada. Mungkin akan berakhir, berujung, habis. Tapi, luka telah
meninggalkan jejak; yang tak akan beranjak. Jauh kemudian, aku terus belajar
mencintai luka itu.
(3)
“Ketika kutitipkan rasa pada tirai
hujan, aku bisa memelukmu. Tanpa kamu harus tahu itu aku.”
Tepat di seberang kompleks, aku melihat
sepasang kekasih bertukar canda dan menderai tawa dalam bingkai rasa. Waktu
terasa berhenti, aku teringat ketika sahabatku merekam siluet bayangmu.
Siluetmu yang tengah duduk di sebuah kedai teh, dengan dua gelas teh. Satu
untukmu, satu untuknya. Rekaman yang terus berputar dan berulang di benakku.
Ada tangis yang pecah, aku tak tahu mengapa. Sesaat, aku hanya ingin menjelma
hujan. Hadir di selipan sudut hatimu tanpa kamu tahu itu adalah aku. Memelukmu
tanpa menjelaskan banyak hal.
(end)
Apakah tiap untai rasa bisa kukemas
dalam wujud ilusi? Biar ia hanya tertinggal sebagai mimpi, yang ketika aku
terbangun, semuanya lesap; mati.
Aku tidak lelah, hanya saja aku memilih untuk menyerah. I surrendered.
0 Comments:
Post a Comment