"Tidak ada pemimpi yang terlalu kecil. Juga tak ada mimpi yang terlalu besar." - film Turbo
Cahaya
rembulan jatuh di pangkuanku malam ini. Berkas sinarnya memeluk hangat setiap
bayang yang tengah bercengkerama dengannya. Aku menyandarkan tubuhku di balik
jendela kayu berembun rintik hujan. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku,
mencipta dering yang mengoyak hening. Dari salah seorang sahabatku, yang
akhirnya berlanjut menjadi obrolan panjang. Tentang satu hal; kuliah. Kami
sibuk memilah bagaimana menempuh jalur beasiswa di banyak universitas,
pembicaraan tentang prodi yang diambil, peminatan hingga kehidupan setelah
sekolah. Semuanya terasa baik-baik saja sampai sahabatku mengatakan padaku jika
banyak di antara temannya yang mengambil peminatan di universitas ternama.
Dengan bangganya, mereka mengatakan akan melanjutkan ke sana-ke situ. Sahabatku
itu, rasanya menjadi kecil di tengah tebaran nama universitas yang ‘wah’. Apa
kamu pernah merasakan hal yang sama? Jika kamu diam-diam mengangguk dan berkata
iya di sudut hatimu. Coba kita bercerita sejenak…
Ini
bukan tentang universitas yang wah. Tapi tentang bagaimana kita punya tekad
yang besar dan ‘wah’ di tengah universitas yang kecil. Universitas yang ‘wah’
tidak menjamin masa depan kita akan ‘wah’. Yang menentukan itu semua, sungguh
sederhana; pada genggaman tangan kita sendiri. Bagaimana kita
bersungguh-sungguh pada peminatan itu, bahkan akan mengalahkan arus gelombang
serta aral terkeras sekalipun. Pernah tahu mantra arab di buku Negeri 5 Menara ini? Man jadda wajada;
siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil? Dalam buku itu, A.Fuadi
menguraikan kisah tentang Alif Fikri yang harus masuk ponpes dan temannya
Randai, masuk ke sekolah SMA ternama di Maninjau. Namun, tak pernah ada yang
tahu, Alif yang awalnya diolok-olok karena hanya lulusan ponpes sederhana,
siapa sangka, akan kuliah di UNPAD dan merantau hingga berbagai ranah di Eropa?
Tak ada yang Alif miliki dalam kisah itu, ia hanya seorang anak dari keluarga
miskin yang tak punya biaya untuk masuk ke universitas mahal yang wah, tapi dia
punya satu yang tak dimiliki Randai; kesungguhan hati dan keseriusan untuk
menggapai impian. Karena ia percaya, tak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk
diraih.
Dulu
sekali, aku suka mendengar bersit lagu ini menari di telingaku; when I was a little girl, I ask my mother,
what would I be? Whatever will be will be, future isn’t for ours to see. Lagu
kanak-kanak sederhana ini bercerita tentang mimpi masa depan. Tak ada seorang
pun yang bisa melihat, termasuk dirimu sendiri. Kamu tak pernah tahu apa yang
akan terjadi pada waktu di masa depan, termasuk satu detik pun. Namun, itu
bukan berarti kita hanya diam dan mengikuti arus nasib. Let it flow, idiom itu
hanya berlaku untuk benda mati, bukankah benda mati hanya mengikuti arus? Lakukan
yang terbaik detik ini, maka tak ada yang harus dikhawatirkan di masa depan. Dan,
jangan remehkan impianmu, setinggi apapun itu, sungguh Tuhan Maha Mendengar.
- di saat aku tengah merasa diri terlalu kecil dan menganggap mimpi terlalu besar, hingga menggalaukan masa depan.
0 Comments:
Post a Comment