Aku membayangkan di suatu siang saat
kita sudah menggenapi kata pisah, kamu menarik bangku mendekati sebuah jendela
apartemen yang besar. Jendela kaca dengan setengah gorden putih vanilla yang
menutupinya. Di balik jendela yang membingkai lalu lalang kesibukkan perkotaan
dan merekam keremangan lampu kota. Lalu, kamu melempar arah pandangmu ke luar
jendela, manik mata hitammu menyapu teduh, membuka banyak kisah akan bayang
silam. Aku pun kembali pada kesadaranku, bertanya; apakah ada siluet bayangku
ketika bayang silam itu menghinggapi ruang pikirmu? Aku memejamkan mata, banyak
hal yang kusesali pada akhirnya. Bukan sesal karena aku tak pernah mampu
membuatmu tetap tinggal, tapi karena banyak hal yang tak kulakukan, hanya diam
di ruang benak sebagai keping kenangan yang menggores luka.
And the ‘almost do’ memories…
Kamu
tak pernah tahu, jika aku pernah hampir menuliskan sebuah puisi dan
menyelipkannya dalam amplop tertutup dengan dua kantung teh, sebagai ajakan
kencan teh di hari senja.
Kamu
tak pernah tahu, jika aku hampir berkata jika puisi yang pernah termuat di
salah satu majalah, yang mengisahkan tentang selipan rasa tak terucap di antara
hujan, itu adalah untukmu.
Kamu
tak pernah tahu, jika aku hampir ingin menyerahkan novel pertamaku di sebuah
pesta perpisahan sekolah kita nantinya dan mengatakan tiga kata sederhana yang
membunuhku selama 2 tahun ini; aku mencintaimu.
Kamu
tak pernah tahu, jika aku hampir berkata iya untuk menemanimu pergi pada suatu
kegiatan yang tak ingin kuhadiri.
Kamu
tak pernah tahu, jika aku hampir ingin mengajakmu bermain hujan dan bercakap
bersama teh hangat di saat hujan merintik di hadapan lorong sekolah kita.
Apa
kamu mengetahuinya?
And the ‘remember when’ moment…
Aku
ingat saat aku berjalan di lorong kelas dengan kepala menunduk, kamu juga
tengah melangkah di depanku, lalu kita menabrak di satu titik. Aku mendongak,
menemukan matamu; kamu berhasil membunuh semua ragu yang pernah singgah di
benakku.
Aku
ingat saat aku membuka pintu kelas, di saat bersamaan, kamu di kelas berbeda
juga tengah membuka pintu kelas. Kita bersamaan ke luar dari kelas tanpa janji,
saling menatap, apa sebuah kebetulan? Aku hanya tahu rasa itu seketika membuncah
dan terasa nyata.
Aku
ingat saat kamu berdiri dibalik belakang pintu dan aku didepan pintu, kita
membuka pintu itu bersamaan. Sekali lagi, aku menabrakmu, dan matamu
menghentikan tiap detik waktu yang tengah berjalan, membuat nafasku sesak.
Apa
kamu mengingatnya?
Saat sahabatku bertanya mengapa aku
menyukaimu dan berujung mencintaimu dalam pendam rasa yang membuat hati lebam,
aku hanya menjawab sederhana. Aku hanya jatuh dan tenggelam pada tatap dalam
matamu. Matamu menjerat sejuta kenangan dan membuka banyak kisah. Sesederhana
itu.
“I bet you’re sitting in your chair by
the window looking out at the city, and I hope sometimes you wonder about me…”
On playing Taylor Swift - I Almost Do.
0 Comments:
Post a Comment