Berkas cahaya rembulan rebah di pangkuanku. Hangatnya terasa menjalar perlahan di
sekujur tubuh. Kubiarkan waktu terus merangkak malam, tak peduli derik serangga
semakin berisik di antara semak-semak. Aku sedang menunggu seseorang, ia hanya
akan datang saat aku meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan malam sunyi.
Benar saja, ia datang, menyeruak di antara bayang-bayang gelap. Kami
mengobrolkan potong-potong peristiwa.
“Siang
itu, aku berdiri di bawah terik matahari. Langkahku tepat berhenti di depan
sebuah bank ternama. Banyak orang berlalu-lalang keluar dari dalam bank,
membawa seikat uang, sebundel amplop dan berkendara mewah. Di antara kendaraan
keluaran terbaik itu, berdiri seorang nenek ringkih, berkerudung kuning. Ia berjalah
tertatih dan mencoba menopang tubuhnya pada sebuah motor besar. Menegadahkan
tangan dan berbisik ‘dana’ atau ‘makan’. Tapi, aku mendengarnya. Hanya bisik
samar yang tenggelam dengan suara bising lalu lintas dan keramaian orang yang
berdebat akan ekonomi. Tak ada pasang mata yang singgah barang sejenak untuk
merangkul nenek itu. Terik matahari semakin membakar, mungkin tak hanya
menghanguskan tubuh tapi juga memberangus hati orang-orang itu hingga tak mampu
merasa.”
“Malam
itu, aku tengah membeli makanan ringan di pinggir jalan. Aku melihat seorang
kakek tua sibuk di sbeuah tempat sampah besar di depan pusat toko grosir barang
sembako. Beliau mengais sisa pembungkus nasi yang masih utuh. Walau berminyak, bau
dan amis, pembungkus nasi bungkus itu masih dicarinya. Ditumpuknya hingga
menggunung, berharap akan menjadi gunung receh rupiah. Aku melihatnya, kakek
itu juga menatapku. Aku tahu ia merasa malu, tapi ia tetap menyibukkan diri
kembali dengan pembungkus-pembungkus sisa itu. Tanpa beliau tahu, hatiku runtuh
saat itu juga menyadari tatap matanya yang begitu dalam, menyiratkan sejuta
harap tak sampai yang begitu menyayat.”
“Sore
itu, aku tengah duduk di atas motor. Langit sebentar lagi mengantar siang
menuju senja jingga. Aku berhenti di sebuah kemacetan panjang, namun ada satu
sepeda yang masih melaju di pinggir kemacetan yang ada. Sepeda itu dikayuh
seorang kakek tua, membawa sejumlah koran. Si Kakek Loper Koran. Aku mengamati
tulang-tulangnya yang rapuh, bekerja keras mengayuh sepeda dengan jarak tempuh
yang tak pernah bisa kuterka. Setiap gowes sepedanya, membolak-balikkan hatiku
hingga lebam.”
Aku
selesai bercerita. Malam ini, tak ada kantuk yang hinggap di ruang pikirku. Seseorang
itu hanya mengangguk, pandangannya nanar menuju bintang-bintang. Hatiku semakin
gelisah, jauh kusadari, bukan karena peristiwa-peristiwa itu, tapi pada
pertanyaan; bagaimana keadaan mereka sekarang? Tak ada jawab kecuali sunyi
malam yang semakin menikam. Sayup kudengar bisiknya di telingaku; titipkan
beribu doa pada Tuhan bagi mereka. Maka, aku pun memejamkan mata.
“Saat kamu terbangun di sebuah
malam yang begitu larut, dan menyadari itu karena kamu menangis dalam tidur oleh mimpimu, tak ada hal terbaik yang bisa kamu lakukan kecuali berdoa.”
0 Comments:
Post a Comment