Sebuah
perjalanan siang yang cukup panjang, aku duduk di balik jendela mobil.
Menenggelamkan pandanganku pada lalu padat kendaraan. Tak kuhiraukan suara
bisik bertukar cerita di belakang. Seorang perempuan, ia tiba-tiba mengambil
duduk di sebelahku. Kawanku yang nyaris selalu tertawa dan riang itu, bertanya
pada guru matematika yang duduk di belakangku. Ini akan jadi obrolan panjang,
pikirku bersiap memasang earphone. Namun, aku berhenti. Pertanyaan itu menarik
perhatianku.
“Sebenarnya
Sir merasa sedih tidak, setiap tahunnya ada murid Sir yang lulus dan berpisah
meninggalkan Sir?” – kami memanggil guru
dengan sebutan ‘Sir’ dan ‘Miss’
Jeda
sesaat yang tercipta membuatku berpikir banyak. Pertanyaan itu sedikit
mengusikku. Sebab, sebelumnya guruku itu bercerita tentang masa-masa indahnya
menjadi murid SMA, lalu menjadi guru dan mempunyai banyak murid kesayangan
setiap tahunnya. Dan, detik ini baru kusadari, murid-murid itu akan hilang
bersamaan dengan waktu yang menggerusnya. Bagaimana guruku itu – dan mungkin
guru-guru lainnya, menghadapi perpisahan yang terjadi setiap tahunnya? Aku
tahu, di setiap pesta perpisahan, mereka selalu menebar senyum, tapi mungkinkah
seulas senyum adalah bagian dari air mata yang paling menyakitkan?
Aku
jadi teringat beberapa waktu lalu, aku baru saja pulang dari meliput salah satu
acara perpisahan sekolah, yang kebetulan adalah sekolah SMP-ku. Saat itu, aku
diundang sebagai alumni. Melihat adik kelasku yang aka berpisah, mereka
menampilkan pertunjukkan terakhir untuk para guru dan kawan-kawannya. Memoriku
terlempar pada bertahun-tahun silam, aku pernah seperti mereka. Menangis sambil
membacakan pesan-kesan, memeluk satu-persatu guru dengan air mata yang tak
dibendung, bertukar kado persahabatan- masih juga dengan air mata yang tersisa.
Nyaris tak ada detik dalam perayaan perpisahan itu yang tak luput dari air
mata. Tiba-tiba, salah seorang temanku memberi ide agar para alumni tampil
menyanyikan lagu kebangsaaan sekolah. Aku mengiyakan, dan akulah di sana,
berdiri di suatu acara perpisahan adik kelas, menyanyikan lagu yang sama yang
pernah kunyanyikan di perpisahanku dulu. Semuanya terulang seolah déjà vu yang
begitu nyata. Hatiku menangis, kenangan silam menjeratku begitu dalam. Namun,
apakah benar itu cara yang tepat merayakan perpisahan? Dengan air mata? Jika
iya, mengapa orang menyebutnya pesta – farewell party? Jika pesta, seharusnya
tak ada suara-suara air mata, isak atau sesegukkan yang menyedihkan.
Masih
jeda. Aku tidak tahu apakah guru itu sedang larut pada kenangannya, merasa
sedih, atau biasa saja, aku tak berani menebak. Hanya ada wajah datar khasnya.
Aku tetap menunggu dalam diam.
“Tidak,
saya tidak sedih. Lagipula, apa sih di dunia ini yang tidak berubah?” ujarnya
sambil tersenyum. Guruku itu damai, menerima dan ikhlas dalam suatu perpisahan.
Tak perlu ada yang disesali. Dengan pisah, ada daun-daun rindu yang tumbuh.
Rindu-rindu itu adalah obat paling ampuh untuk mengawetkan sebuah hubungan
setelah pisah. Aku mengangguk kecil dalam diamku. Mungkin itu jawaban yang
tepat. Bukankah perpisahan membuat kita lebih menghargai sebuah pertemuan? Aku
menyeka satu tetes air mataku sebelum ia terjatuh. Sejenak, aku rindu mereka,
siapapun itu yang pernah bertemu denganku di masa silam dan beranjak pergi
karena waktu. Kita tak pernah benar-benar berpisah.
0 Comments:
Post a Comment