Wednesday, 31 July 2013

Rain Fall (3)

"Feel the rain on your skin, cause no one else can feel it for you, only you can let it in." 
Aku masih mencintai hujan. Tentunya, dengan secangkir teh hangat. 
Aku menyeret sebuah bangku kecil ke belakang rumah tak beratap. Mengangkat wajah, menatap kubah langit yang mendung. Sesekali terdengar geram suara langit. Kilat petir hadir mengiris langit, guruh menyahut. Siap menghentak barisan awan untuk tumpah sebagai hujan. Aku beranjak dari tempatku, berdiri di tepi, melihat bagaimana lantai semen yang kering itu mulai basah. Bulir hujan menetes satu persatu, membuat titik-titik bulatan kecil di permukaan.

“Aku ingin menyentuh hujan, merasakannya,” bisikku.
“Kamu cukup menegadahkan tanganmu. Perkara menyentuh dan merasakan hujan yang kau rindukan, usai,” jawab salah seorang temanku di seberang sana. Aku menggeleng. Menyentuh dan merasakan hujan bukan sekedar menegadahkan kedua telapak tanganmu, menunggu bulir hujan itu jatuh dari langit-langit. Bukan juga berdiri di bawah hujan, membiarkan diri bermandikan hujan deras. Tidak ada yang didapat kecuali basah dan dingin.
“Lalu?” ujar temanku itu sekali lagi. Aku mengalihkan pandangku padanya, menatapnya teduh. Aku menyentuh hujan dengan kenangan-kenangan masa lalu yang masih mengerubungi kalbu. Aku merasakan hujan dengan membuka kisah pada setiap tetes penuh maknanya. Hujan itu…perih-dingin-tajam, namun, itulah rasa*. Temanku tidak membantah, ia menegadahkan tangannya, menyentuh hujan bersamaku.
“Bagaimana?” tanyaku di sela simfoni hujan yang menderaskan beribu kenangan silam.
“Aku tersengat rasa!”
Aku memejamkan mata, mengangguk pelan. Pernah kukatakan? Cinta itu…secangkir teh hangat di tengah hujan.
*HFZ

0 Comments:

Post a Comment