"Feel
the rain on your skin, cause no one else can feel it for you, only you can let it in."
Aku masih mencintai hujan.
Tentunya, dengan secangkir teh hangat.
Aku
menyeret sebuah bangku kecil ke belakang rumah tak beratap. Mengangkat wajah,
menatap kubah langit yang mendung. Sesekali terdengar geram suara langit. Kilat
petir hadir mengiris langit, guruh menyahut. Siap menghentak barisan awan untuk
tumpah sebagai hujan. Aku beranjak dari tempatku, berdiri di tepi, melihat
bagaimana lantai semen yang kering itu mulai basah. Bulir hujan menetes satu
persatu, membuat titik-titik bulatan kecil di permukaan.
“Aku
ingin menyentuh hujan, merasakannya,” bisikku.
“Kamu
cukup menegadahkan tanganmu. Perkara menyentuh dan merasakan hujan yang kau
rindukan, usai,” jawab salah seorang temanku di seberang sana. Aku menggeleng.
Menyentuh dan merasakan hujan bukan sekedar menegadahkan kedua telapak
tanganmu, menunggu bulir hujan itu jatuh dari langit-langit. Bukan juga berdiri
di bawah hujan, membiarkan diri bermandikan hujan deras. Tidak ada yang didapat
kecuali basah dan dingin.
“Lalu?”
ujar temanku itu sekali lagi. Aku mengalihkan pandangku padanya, menatapnya
teduh. Aku menyentuh hujan dengan kenangan-kenangan masa lalu yang masih
mengerubungi kalbu. Aku merasakan hujan dengan membuka kisah pada setiap tetes
penuh maknanya. Hujan itu…perih-dingin-tajam, namun, itulah rasa*. Temanku
tidak membantah, ia menegadahkan tangannya, menyentuh hujan bersamaku.
“Bagaimana?”
tanyaku di sela simfoni hujan yang menderaskan beribu kenangan silam.
“Aku
tersengat rasa!”
Aku
memejamkan mata, mengangguk pelan. Pernah kukatakan? Cinta itu…secangkir teh
hangat di tengah hujan.
*HFZ
0 Comments:
Post a Comment