Seseorang bertanya padaku kapan aku berhenti menulis, aku menjawabnya dengan tenang; kamu sedang menanyakan kapan aku mati.
“Pernah
mengalami masa yang paling sulit? Jika pernah, kapan masa susah itu?” tanya
seorang pembawa acara kepada narasumbernya, seorang pelawak.
“Pernah,
saat masa krisis moneter ’98. Saya menjual semua perabotan rumah. Saat itu
begitu sulit, panggung hiburan sepi. Tak ada show sama sekali,” ujar pelawak
itu tenang.
“Lalu,
apa yang membuat Anda bertahan menjadi pelawak?”
“Tentu
saya bertahan. Sebab saya cinta dunia ini. Saya suka melawak. Inilah bidang
yang cintai, lawak,” jawab pelawak itu mantap.
Aku
menutup layar televisi. Jawaban pelawak itu seolah mewakili semua jawaban para
seniman ketika ditanya satu pertanyaan ini; ‘Kenapa
masih bertahan? Apa untungnya?’
***
Sembari
mengangguk, aku terdiam di depan layar televisi yang sudah mati. Aku pernah
ditanyai hal serupa.
“Untuk
apa masih menulis? Setiap hari kulihat kamu mengurung diri di kamar, mengencani
komputermu. Tak ada satu bukupun yang kamu hasilkan kecuali cerpen-cerpen dan
artikel singkat lainnya, hasilnya? Hanya dimuat sesekali. Honornya cuma cukup
buat satu hari dan diri sendiri. Capek iya, sakit punggung iya, rabun iya,
hasilnya nihil juga iya,” ujar seseorang itu padaku ketika aku mengetik
tulisanku hingga larut malam. Kafein rendah dari secangkir teh ternyata cukup
ampuh membuatku bertahan hingga tengah malam. Aku hanya tersenyum kecil dari
sudut bibirku.
“Kamu memintaku berhenti menulis? Kamu sama saja bertanya padaku kapan aku harus mati. Aku mencintai dunia ini. Aku menikmati saat-saat menghembuskan jiwa pada setiap kata yang kurangkai. Karena dunia cerita, dunia kata-kata adalah duniaku,”
jawabku tegas tanpa mengalihkan perhatian dari tokoh rekaan yang
tengah kuciptakan. Seseorang itu mendengus kesal dan kembali terlelap. Sesaat,
aku berhenti mengetik untuk menyesap teh. Aku pernah membaca buku pelajaran
Indonesiaku yang mengisahkan bagaimana menjadi seorang kuli tinta (penulis)
dulu begitu banyak tantangan, dianggap pekerjaan yang tidak menjanjikan, hanya
dibayar dengan kantung beras. Memoriku melemparku pada banyak potong kisah.
“Apa
yang kamu harapkan dengan kaleng-kaleng cat minyak dan aerosol itu? Mereka tak
akan memberi warna cerah pada masa depanmu,” teriak seseorang pada salah
seorang pelukis.
“Sulap?
Kamu bisa dapat apa dari bidang tidak jelas itu,” ujar seseorang pada salah
seorang pesulap.
“Melawak?
Melucu? Yang ada nanti, orang lain akan menertawakan masa depanmu yang suram,”
ucap seseorang lagi pada salah seorang pelawak.
Aku
meletakkan cangkir putih porselenku. Menghela nafas sejenak. Di lain sisi,
mereka yang kuat secara eksak, kata-kata jaminan masa depan baik terdengar
jelas. Aku tergugu. Apa kita lupa, jika Jepang bisa bangkit setelah kalah
perang dunia II karena pemerintahnya fokus pada pembangunan seni? Kenapa Korea bisa
terkenal dan sukses dalam dunia hiburan seni? Karena pemerintahnya fokus pada
dunia seni, mengirim mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar dunia hiburan seni di
Eropa, dan kembali dengan mengembangkan bakat seninya yang telah diasah. Seni
adalah dunia yang mengajarkan kita mencipta, tidak menghafal teori dan
buku-buku pelajaran sekedar untuk mencetak angka bagus di lembar kertas.
Aku
menyeduh teh hangat sekali lagi, kali ini aku beristirahat sejenak. Meraih
salah satu buku di antara banyak buku yang menggunung di meja komputerku. Saat kubuka
lembaran buku itu, sebuah kalimat sederhana atau ‘mantera sakti’ segera
menyapaku. Aku tersenyum;
“Jangan remehkan impian, walau setinggi apapun, sungguh Tuhan Maha Mendengar. Percayalah, siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Man Jadda Wajada.” –N5M
Aku
menutup buku itu. Aku hanya perlu satu kalimat itu untuk bangkit. Bukankah pelukis
Van Gogh dulu karyanya dirutuk berkali-kali sebelum akhirnya ia menjadi pelukis
terkenal? Bukankah naskah Chicken Soup dulu ditolak hingga 124 kali hingga kini
menjadi bacaan fenomenal? Bukankah dulu Deddy Corbuzier juga diejek masa
kecilnya karena kesukaannya pada sulap sebelum akhirnya ia menjadi pesulap
ternama?
Dengar
aku, biar mereka berkata apa, balas dendam terindah yang bisa dilakukan adalah
biarkan seni berbicara, tunjukkan jika kita bisa, kita ada.
Hem.... aku ingat dengan salah satu bahasa yang cukup aku sayangi, mungkin sediikit berbelok, ah bukankah seorang sastra sejati mempunyai sudut pandang sendiri?...
ReplyDeleteItaliano, Lazio to Latium ...