Monday, 24 June 2013

Man Jadda Wajada

Seseorang bertanya padaku kapan aku berhenti menulis, aku menjawabnya dengan tenang; kamu sedang menanyakan kapan aku mati.
“Pernah mengalami masa yang paling sulit? Jika pernah, kapan masa susah itu?” tanya seorang pembawa acara kepada narasumbernya, seorang pelawak.
“Pernah, saat masa krisis moneter ’98. Saya menjual semua perabotan rumah. Saat itu begitu sulit, panggung hiburan sepi. Tak ada show sama sekali,” ujar pelawak itu tenang.
“Lalu, apa yang membuat Anda bertahan menjadi pelawak?”
“Tentu saya bertahan. Sebab saya cinta dunia ini. Saya suka melawak. Inilah bidang yang cintai, lawak,” jawab pelawak itu mantap.
Aku menutup layar televisi. Jawaban pelawak itu seolah mewakili semua jawaban para seniman ketika ditanya satu pertanyaan ini; ‘Kenapa masih bertahan? Apa untungnya?’
***
Sembari mengangguk, aku terdiam di depan layar televisi yang sudah mati. Aku pernah ditanyai hal serupa.
“Untuk apa masih menulis? Setiap hari kulihat kamu mengurung diri di kamar, mengencani komputermu. Tak ada satu bukupun yang kamu hasilkan kecuali cerpen-cerpen dan artikel singkat lainnya, hasilnya? Hanya dimuat sesekali. Honornya cuma cukup buat satu hari dan diri sendiri. Capek iya, sakit punggung iya, rabun iya, hasilnya nihil juga iya,” ujar seseorang itu padaku ketika aku mengetik tulisanku hingga larut malam. Kafein rendah dari secangkir teh ternyata cukup ampuh membuatku bertahan hingga tengah malam. Aku hanya tersenyum kecil dari sudut bibirku.
“Kamu memintaku berhenti menulis? Kamu sama saja bertanya padaku kapan aku harus mati. Aku mencintai dunia ini. Aku menikmati saat-saat menghembuskan jiwa pada setiap kata yang kurangkai. Karena dunia cerita, dunia kata-kata adalah duniaku,” 
jawabku tegas tanpa mengalihkan perhatian dari tokoh rekaan yang tengah kuciptakan. Seseorang itu mendengus kesal dan kembali terlelap. Sesaat, aku berhenti mengetik untuk menyesap teh. Aku pernah membaca buku pelajaran Indonesiaku yang mengisahkan bagaimana menjadi seorang kuli tinta (penulis) dulu begitu banyak tantangan, dianggap pekerjaan yang tidak menjanjikan, hanya dibayar dengan kantung beras. Memoriku melemparku pada banyak potong kisah.
“Apa yang kamu harapkan dengan kaleng-kaleng cat minyak dan aerosol itu? Mereka tak akan memberi warna cerah pada masa depanmu,” teriak seseorang pada salah seorang pelukis.
“Sulap? Kamu bisa dapat apa dari bidang tidak jelas itu,” ujar seseorang pada salah seorang pesulap.
“Melawak? Melucu? Yang ada nanti, orang lain akan menertawakan masa depanmu yang suram,” ucap seseorang lagi pada salah seorang pelawak.
Aku meletakkan cangkir putih porselenku. Menghela nafas sejenak. Di lain sisi, mereka yang kuat secara eksak, kata-kata jaminan masa depan baik terdengar jelas. Aku tergugu. Apa kita lupa, jika Jepang bisa bangkit setelah kalah perang dunia II karena pemerintahnya fokus pada pembangunan seni? Kenapa Korea bisa terkenal dan sukses dalam dunia hiburan seni? Karena pemerintahnya fokus pada dunia seni, mengirim mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar dunia hiburan seni di Eropa, dan kembali dengan mengembangkan bakat seninya yang telah diasah. Seni adalah dunia yang mengajarkan kita mencipta, tidak menghafal teori dan buku-buku pelajaran sekedar untuk mencetak angka bagus di lembar kertas.
Aku menyeduh teh hangat sekali lagi, kali ini aku beristirahat sejenak. Meraih salah satu buku di antara banyak buku yang menggunung di meja komputerku. Saat kubuka lembaran buku itu, sebuah kalimat sederhana atau ‘mantera sakti’ segera menyapaku. Aku tersenyum;

“Jangan remehkan impian, walau setinggi apapun, sungguh Tuhan Maha Mendengar. Percayalah, siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Man Jadda Wajada.” –N5M

Aku menutup buku itu. Aku hanya perlu satu kalimat itu untuk bangkit. Bukankah pelukis Van Gogh dulu karyanya dirutuk berkali-kali sebelum akhirnya ia menjadi pelukis terkenal? Bukankah naskah Chicken Soup dulu ditolak hingga 124 kali hingga kini menjadi bacaan fenomenal? Bukankah dulu Deddy Corbuzier juga diejek masa kecilnya karena kesukaannya pada sulap sebelum akhirnya ia menjadi pesulap ternama?
Dengar aku, biar mereka berkata apa, balas dendam terindah yang bisa dilakukan adalah biarkan seni berbicara, tunjukkan jika kita bisa, kita ada.
This entry was posted in

1 comment:

  1. Hem.... aku ingat dengan salah satu bahasa yang cukup aku sayangi, mungkin sediikit berbelok, ah bukankah seorang sastra sejati mempunyai sudut pandang sendiri?...

    Italiano, Lazio to Latium ...

    ReplyDelete