Terik panas siang itu membakar kulitku. Gerutu kesal
terus meluncur di tengah deru mesin yang menganggu. Mataku mendelik pada detik
lampu merah yang masih menunjukkan puluhan. Aku memberhentikan motor, menunggu
lampu merah agar berganti hijau dengan segera. Ketika detik lampu merah itu
sudah berubah menjadi belasan, mataku tiba-tiba teralih dan menangkap seorang
anak kecil, kira-kira berumur enam sampai tujuh tahun, duduk di tepian jalan
dekat lampu merah. Kedua tangannya tengah memegang masing-masih satu tusuk
telur dadar yang digulung. Anak kecil itu dengan asyik menikmati tusuk makanan
itu di salah satu genggaman tangannya. Wajahnya begitu kotor, noda hitam
menempel di sekujur tubuh, pakaian robek dan pipinya. Tapi, ia tersenyum,
rasanya makanan itu begitu enak di matanya. Memoriku seolah membingkainya dalam
benakku, membawanya ke ruang hati yang senyap lalu dengan perih berbisik; ini
begitu menyakitkan. Mungkin saja itu makanan yang berhasil ia beli sehabis ia
menegadahkan mangkuk plastiknya pada para pengendara motor seharian, atau
mengamen di angkutan umum dengan teman-temannya yang lebih kecil, receh
bergemerincing di genggamannya merekahkan senyumnya, seolah itu suara receh itu
adalah suara bahagia hidupnya. Baginya deru mesin motor mungkin musiknya
sehari-hari, mata yang memandangnya jijik adalah pemandangan kesehariannya dan
rasa iba/kasihan adalah penyambung hidupnya. Aku mencelos ketika ia masih
menikmati tusuk makanannya di tepian jalan yang tidak layak dan keras untuk
tubuh kecil serta mata polosnya. Di tengah debu dan asap kendaraan bermotor
yang bercampur, anak itu masih saja makan dengan lahap. Aku melihat kesederhaan
yang mengirisku. Detik lampu merah sudah habis, hijau menyala nyalang, klakson
kendaraan bersahutan, aku melajukan motorku. Dari kejauhan, aku tahu tak banyak
yang bisa kuberikan untuknya, kecuali mengisahkannya, menyalakan rasa cinta
untuknya.
Friday, 31 May 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment