“Can you show me the perfect way to
write the best love story with the dying heart?”
Tak ada yang terasa dari hujan
kecuali akhir cerita menggantung yang dibawa bau tanah dan sepotong senja
basah. Ini seperti tengah merangkai rasa yang pernah dibiarkan jatuh dan hanya
bersisa cerita-cerita bisu akan luka. Mencipta tanya, bagaimana mematahkan rasa
ketika bahkan kehadiranmu tak mampu ditebas jarak dan digerus waktu? Namun,
segalanya memaksa aku meninggakan cerita sebagai kenangan. Dan, aku terbunuh begitu
dalam, mengetahui hitam tak hanya singgah pada malam, tetapi hujan yang
menumpahkannya dalam kisah kelam. Tak ada yang pernah menjadi milik kita berdua
kecuali luka-luka karena terlalu banyak ketika-ketika tanpa ada aksi rasa yang
nyata.
“The possibility that you will ever
felt the same way is just too…less.”
Kali ini, biar tatapan teduh matamu
yang kusembunyikan dalam kata-kata dan kusamarkan dalam tinta. Sesungguhnya aku
lelah memakai terlalu banyak metafora, karena teduh tatap mata itu tak sebatas
kata-kata yang kumainkan. Ia mencpita ketenangan yang bersua seolah segalanya
baik-baik saja. Ia adalah sorot dalam kesederhanaan dengan binary hangat yang
memeluk dan melindungi di kala rasa yang meretak. Berkali-kali kulempar tanya
dan teduh mata itu selalu mampu melepas jawab. Namun, tak pernah mencoba
menerjemahkan rasa. Membuatku berhenti untuk terlalu banyak merajut asa.
“Probably this is just wishful thinking and mindless dreaming that we will love each other.”
Aku mengingatmu dalam rindu yang
membunuh. Aku tak ingin menguntai rasa dalam hura-hura jika kita akan meniti
kisah. Walau rasa itu harus terperangkap dalam ruang ramai pesta, biar ia
menemukan jalan sendiri ‘tuk saling mengamitkan janji untuk berlalu dan
merangkai keheningan. Pernah dengar? Diam itu bersuara. Bisu itu bersua. Hening
itu bercerita. Aku ingin mereka yang berdialog dan mengisahkan indahnya
sebongkah cinta yang kusimpan dalam mata yang berbicara. Bahkan lilin di meja romantis
Valentine itu kalah dengan binar mata yang saling melepas rasa. Tanpa banyak
kata, karena rasa bukanlah bahasa. Maka itu, kubiarkan kata itu berdiam, sunyi,
hening dan sepi…aku lelah menuang tinta aksara dalam gerimis hujan, karena
hujan pun mampu bersuara lewat geraman guntur, menyuarakan bagaimana rindu ini
menjelma layaknya petir yang melukai cakrawala langit, sedangkan secangkir teh
hanya berlindung dibalik jendela. Diam.
0 Comments:
Post a Comment